;

17.7.19

Menggenggam Paspor


Penyesalan memang datang di akhir, kalau di awal namanya pendaftaran.

Ungkapan itu benar adanya, sering kita temui dalam kehidupan kita sehari-hari.
Hal-hal yang banyak sekali kita kaitkan dengan ribuan bahkan jutaan alasan.

Sudah sejak lama, ajakan, perintah, anjuran, dan keharusan untuk mencari passpor ditujukan untukku.
Tapi tetap saja, begitu berat untuk sekedar menyiapkan persyaratan dan datang menuju kantor imigrasi.

Dampaknya luas, amat sangat luas. Kebetulan aku merupakan salah satu penerima beasiswa asrama sejak tahun 2016, youthproject scholarship namanya. Hingga tahun 2019, berarti hampir 3 tahun lamanya, mimpiku untuk ke luar negeri hanya terhenti pada angan dan tulisan di secarik kertas.

Kala itu, aku beralasan, ada banyak amanah yang tidak bisa ditinggalkan ke luar negeri, ada banyak tugas kuliah yang harus aku kerjakan, ada banyak hal yang kujadikan alasan untuk menahanku membuat paspor.

Paspor adalah jendela dunia, salah satu benda ajaib yang bisa menghantarkan kita pergi kemanapun.
Yang menjadi syarat utama kita untuk pergi ke luar negeri, Jika paspor ini belum ada di dalam genggaman, tentunya kita belum memegang kunci untuk membuka satu pintu pun dari sekian pintu-pintu yang ada di dunia ini.

Diantara anak-anak beasiswa yang lain di angkatan pertama, hanya aku yang belum menginjakkan kaki ke luar negeri, sebut saja di antaranya, Mbak Hasna Jamilah, sudah pernah magang di Myanmar dan ke Thailand serta Jepang di tahun setelahnya. Mbak Imaf, sudah dua kali ke Jepang, dan tahun ini akan ke Amerika Serikat, dan Uly sempat ke Malaysia dan tahun ini berkompetisi di sebuah pameran di Korea Selatan.

Mimpi indah harus disertai dengan aksi, bukan?

Yang kuyakini, Allah memang senantiasa memiliki rencana terbaik, tetapi rencana indah itu tidak akan hadir tanpa manusia yang mengusahakannya.

Di tahun 2019 ini, Allah memberiku kesempatan, mendaftar kegiatan di Malaysia dan diterima,, bahkan sekaligus akan ke Singapura. Barulah di tahun ini aku baru merealisasikan dan paspor ada dalam genggaman.

Namun, aku menyadari sesuatu, tentang mengubah sudut pandang dan konsep.

Kalau dulu, aku merasa mengusahakan diterima di kegiatan di luar negeri terlebih dahulu akan lebih baik daripada membuat paspor, kini kurasa keputusan itu salah. Harusnya, memang mengusahakan membeli tiket terlebih dahulu, baru memutuskan akan pergi kemana.

Ibarat naik naik bis trans jakarta, kita tak akan pernah bisa menaikinya tanpa memiliki kartu elektronik, atau minimal membayar per tap dari petugas yang berjaga di halte. Kita harus masuk dulu ke halte, baru kemudian berkeliling Jakarta.

Menyegerakan memang lebih baik daripada menunggu waktu.

Selamat berpikir untuk segera ke imigrasi, pembaca!
Semoga lekas keliling dunia!

7.5.19

Betapa Malu, Kalah oleh Nafsu



Sore itu aku dan beberapa temanku pulang ke rumah (asrama), cukup lelah hingga kemudian kami sama-sama menginginkan semangkok mie ayam. Kami bergegas karena hari sudah cukup sore, takut akan segera tutup warungnya.

Pertama kami menuju Mie Ayam langganan, mie ayam terenak versi lidah kami yang tidak cukup jauh dari asrama, ternyata tutup.

Kami melaju ke Warung Mie Ayam yang lain. Sama, tutup. Hingga ke Mie Ayam ketiga, dan alhamdulillah buka.

Kami makan dan kemudian kembali ke rumah.

Kami salat Maghrib dan bermalas-malasan mandi, kami memang cukup lelah karena agenda kami dari pagi tadi hingga sore.

“Is, salat di Masjid kampus, yuk!” sebuah pesan masuk ke notifikasi whatsappku.
“Engga ah, aku mau salat di masjid deket asrama aja,” jawabku
“Loh, kenapa? Biasanya kamu paling semangat salat di masjid kampus,” tanyanya.
“Masih capek, pengen yang salatnya sebentar aja,” jawabku.

Azan Isya berkumandang dan aku bergegas mandi, disusul oleh temanku.
Selepas itu, kami menuju Masjid terdekat.
MasyaAllah, masjid itu penuh dengan orang, bahkan sampai ke teras-teras hampir menyentuh lantai bertumpukan sandal.
Tak ada ruang yang cukup untuk kami.

Kami pun berlari, masih mengenakan mukena dan menuju sepeda motor.
Kami berpindah dari satu masjid ke masjid yang lain, semuanya penuh.
Hampir putus asa, hingga kemudian kami menemukan salah satu masjid yang halamannya sangat lapang, di lapangan sekolah dasar di daerah belakang kampus.
Kami merapat dan menggelar sajadah kami.
Kami ketinggalan salat isya berjamaah sehingga kami salat isya munfarid, mendengarkan ceramah, dilanjut salat tarawih berjamaah.

“Berbahagialah, karena di depan kita sudah datang tamu yang agung, Marhaban ya Ramadhan. Banyak dari kita yang berdoa, bahkan dengan khusyuk untuk dipertemukan lagi dengan Ramadhan, tapi Allah belum mengabulkan doa-doa mereka. Allah terlebih dahulu memanggil mereka ke haribaanNya,” ujar ustaz penceramah pada malam hari itu.

Malam dimana suasana Ramadhan mulai benar-benar terasakan.

Ingatanku menerawang, mataku hampir basah. Aku teringat salah seorang temanku, yang sering mengajakku dan teman-teman SMA buka bersama di bulan Ramadhan tahun lalu, dan kini ia telah tiada. Tak ada lagi kesempatan baginya untuk melipatgandakan pahala dan memohon jutaan ampunan di bulan suci.

Sepulang dari salat tarawih tersebut, aku dan temanku beristighfar berkali-kali.
Betapa malunya, mengawali bulan Ramadhan nan suci ini dengan dikalahkan oleh nafsu.
Saat banyak orang lainnya begitu menginginkan kedatangan bulan suci ini
Betapa malunya, lebih semangat mencari dan memakan semangkok mie ayam dibandingkan bergegas bersiap-siap menuju masjid.


Betapa kufurnya kami atas nikmat Allah.
Betapa nikmat dipertemukan kembali dengan Ramadhan adalah berkah yang harus terus disyukuri
Kami pun tersadarkan untuk segera menyusun target Ramadhan, agar tak lagi terlena dengan bisikan setan dan benar-benar menjadi hamba yang memanfaatkan waktu sebaik mungkin.



5.5.19

Jiwa-jiwa yang diharapkan…..





Sejak muncul istilah Youlead dan berkembangnya pemahaman tentang program baru keluaran Dompet Dhuafa Pendidikan ini saya mulai berpikir.

Benar-benar, pertanggungjawaban atas hasil belajar saya nantinya bukan hanya untuk diri saya sendiri, tapi untuk banyak orang lainnya. Secara langsung untuk adik-adik kami, PM Youlead ke depan.

Saat sesi wawancara, saya menemukan banyak sekali jiwa-jiwa tangguh, jiwa-jwa pembelajar yang semangatnya segunung. Mereka, adik-adik yang qadarullah begitu keren, berbakat, dan bersemangat. 

Ada yang sudah berkali-kali ke luar negeri untuk lomba, ada yang bahasa inggrisnya sungguh cap cis cus, ada yang hafidzoh mut’in berjuz-juz, ada yang punya visi misi hidup MasyaAllah ke depan, masyaAllah.

“Alhamdulillah Mbak, akhirnya saya dibersamakan dengan Mas Mbak PM Baktinusa yang keren-keren, semoga saya bisa banyak belajar dan ketularan kerennya,” ujar salah satu PM Youlead pasca pengumuman pagi ini, (Selasa, 30/4/2019).

Saya teringat dengan hukum resonansi, yang menyatakan bahwa pada dasarnya, suatu hal yang memiliki frekuensi sama akan bergetar dan dipertemukan dalam titik yang sama,, entah kapan, pada suatu saat nanti,” disadur dari buku Resonansi karangan Ade Rainaldo.

Hukum resonansi ini pun berlaku diantara PM Baktinusa dan PM Youlead.

Adik-adik Youlead ini tentunya menaruh banyak harap kepada kita, untuk menjadi teman belajar, untuk menjadi partner berjuang, khususnya untuk mencapai satu demi satu visi misi hidup mereka.

Kita harus semakin tersadarkan, bahwa diri kita bukanlah milik kita sendiri. Diri kita menjadi harapan banyak orang, dan diri ini adalah salah satu perpanjangan tangan dari Allah melalui Dompet Dhuafa untuk mengkapitalisasi kebaikan.

Jadi belajar dan terus belajar adalah tugas kita sepanjang massa, lain daripada itu fungsi transformatif dan melayani harus kita pegang baik-baik.

Ilmu-ilmu yang kita dapatkan sudah barang tentu harus mampu kita sampaikan.

Selamat mengkapitalisasi kebaikan duhai kamu, jiwa-jiwa yang diharapkan.


1.5.19

Porsi yang Tak Sama



Sering kita merasa setiap orang memiliki kemampuan yang sama
Atau setidaknya bisa dipaksakan untuk menjadi sama

Sehingga setiap hal yang ada di bumi ini bisa disama-ratakan
“Kemampuanku” sama dengan “kemampuanmu”
“Kamu” sama “denganku”

Ada suatu kisah yang menyentak dan menjadi sebuah titik refleksi.
Pernah suatu ketika aku sedang berkumpul dengan teman-temanku.
Kami berencana untuk memberikan hadiah kepada salah seseorang teman kami yang berulangtahun.
Salah seorang temanku, sebut saja Alifa mengkomando kami untuk membayar iuran bersama, kala itu senilai Rp. 50.000 rupiah per orang.

“Emm, temen-temen, sepertinya kali ini aku ndak ikut iuran saja, soalnya aku mau bikin kado sendiri, aku berencana memberikannya tas rajut, ini aku sudah bawa alat-alat rajut dari rumah,” ujar Reni, salah seorang dari kami.

Seketika semuanya hening.
Aku tersenyum,

“Ya ngga bisa gitu dong, kan ini atas nama bareng-bareng, berarti semuanya tetap harus iuran tanpa terkecuali. Kalo kamu mau nambah kado bikin sendiri ya sok aja atuh, tapi iuran tetep harus jalan,” ujar Alifia.

Ia pun mengeluarkan uangnya.

Satu per satu dari kami pergi pulang karena urusan masing-masing
Tinggal kami, aku dan Reni.

Ia memandangku, matanya berkaca-kaca
“Aku ngga ada uang sama sekali,” air matanya mulai menetes
"Uang yang tadi, jatah makanku satu minggu nanti"
"Orang tuaku sedang tidak ada uang."

Aku tertegun.
Uang Rp.50.000 yang bagi orang lain bukanlah apa-apa, bisa saja begitu berharga bagi orang lain.
Bahkan untuk menyambung hidupnya.

“Aku bingung, mana mungkin aku menolak lagi dan bilang aku ga ada uang di depan banyak orang?” kata Reni.
“Aku jadinya ga ikhlas,” tambah Reni

Ia makin tersedu-sedu.

Astaghfirullah, aku malu dengan diri sendiri karena tidak membelanya tadi.
Sejak saat itu, aku ajdi berpikir.
Kemampuan setiap orang berbeda.
Ini baru urusan uang, masih ada lagi urusan-urusan lain yang tidak bisa disama-ratakan dan sering disepelekan, urusan waktu,, urusan kesempatan yang setiap orang pasti berbeda.

Kamu yang longgar dan punya banyak waktu luang bisa mengerjakan intruksi dengan cepat
Sedangkan bagi sebagian orang yang lainnya, ia sudah memiliki jadwal kegiatan terstruktur jauh sebelum intruksi darimu.


Untuk urusan-urusan kebaikan, berdonasi khususnya, semoga kita diberikan dada yang lapang.
Sungguh porsi setiap orang berbeda dan tidak bisa disamaratakan begitu saja.







19.4.19

Jangan takut sendirian! Berbagi pasti ada temennya!






Akhir Tahun, 2015
Aku masih malu-malu kala itu, salah seorang kakak tingkatku di kampus mengajakku ke sebuah sekolah. Aku masuk ke ruangan bernamakan perpustakaan yang menjadi bangunan paling ujung di sekolah. Saat aku masuk dan melihat sekeliling, aku tak merasa seperti sedang berada di perpustakaan. Hanya ada beberapa buku yang tersusun tidak rapi di satu-satunya rak kayu yang ada.
Beginikah potret sekolah di dekat kampus? tanyaku di dalam hati saat itu.

Hari itu, yang tak kuingat tepatnya tanggal berapa, aku bertemu dengannya. Anak kecil polos yang masih terbata-bata membaca. Aktivitas yang harusnya mengerjakan pekerjaan rumah di buku LKS pun tak bisa dikerjakan. 

“Mana mungkin bisa mengerjakan, anak ini sama sekali tidak bisa membaca,” ujarku saat itu. Jadilah aku mengajarkannya membaca, mengenal kembali huruf yang untuknya masih terbalik-balik. Aku masih ingat, b dibacanya d, d dibacanya p, dan yang lainnya.

Aku tetap membersamainya, hingga waktu berlalu, saat aku tak lagi menjadi bagian dari organisasi yang melakukan pengabdian untuk mengajar di sekolah itu. Tak lama setelah itu, aku mendengar kabar, organisasi itu benar-benar menutup akivitasnya dan sudah tak lagi bersinggungan dengan sekolah yang hanya berjarak tak kurang lima menit dari kampusku, universitas negeri di Solo.

Pertengahan tahun, 2017

Seorang bocah, berkulit kecokelatan, berjalan menunduk pelan-pelan bersamaan dengan karung putih yang ia sandarkan di bahu. Sesekali ia berlari dan tertawa. Ternyata, ia tidak sendiri, berjarak beberapa meter di depannnya ada seorang perempuan paruh baya yang juga membawa karung sampah, dengan jumlah yang lebih banyak, tentunya. Aku memicingkan mataku, seperti mengenali bocah itu, dan aku pun menghampirinya.

“Mikaaaaaaa,” teriakku.  Ia menunduk, malu-malu. Ibunya banyak bercerita, setiap hari, Mika pasti membantunya, sepulang sekolah.
“Kapan-kapan saya main ke tempat Mika ya Bu,” kataku.
“Tapi tempat saya seadanya, Mbak,” jawab Ibu Mika. Ibu Mika mengarahkan jalan menuju rumahnya, aku mengingat-ingat dan berkeinginan ke sana suatu saat nanti.
Terbersit keinginan di hati untuk membantu Mika.
Apakah ia sudah bisa membaca, bagaimana belajarnya kalau setiap hari membantu ibunya, dan pertanyaan-pertanyaan yang lain menyelimuti benak.
Namun, pertanyaan tetap menjadi pertanyaan, karena kesibukan dan merasa sendiri, belum ada teman yang membersamai.

Suatu siang di pertengahan Ramadhan, 2018.
“Mikaaaa,” teriakku, menepikan sepeda motor di pertigaan jalan kampus, menghampiri Mika dan ibunya.
“Eh, Mbak” kata Ibu Mika menyapaku.
“Mika puasa ndak?” tanyaku.
“Alhamdulillah, Mbak, puasa”
“Ibu biasanya ndak pulkam Buk?”
“Endak Mbak, wong kalo hari raya ya sholat terus cari sampah lagi,” ujar Ibu Mika, tersenyum.
Aku membayangkan, saat adikku di rumah sedang asik-asiknya meminta kepada ibuku untuk dibelikan baju  baru untuk menyongsong hari kemenangan pasca ramadhan, Mika tak ada kepikiran sama sekali untuk itu. Bahkan, di hari yang paling dinantikan oleh umat Islam itu, ia tetap membantu ibunya mencari sampah untuk menyambung hidup keluarganya.

Suatu hari, di bulan Ramadhan, 2018
“Kamu kenapa, Is” tanya Mba Hasna, kakakku di beasiswa baktinusa, pemberian dompet dhuafa Pendidikan.
“Dulu aku pernah kepikiran buat bantu orang Mbak, tapi aku merasa hanya wacana belaka, sudah lama, mungkin sejak setahun yang lalu,” kataku.
“Terus?”
“Kali ini aku ga akan wacana deh mba, kayanya aku mau bantu Mika, enaknya aku sendiri aja atau  buka donasi ya Mbak?" tanyaku.
“Eh, jangan”
“Ha?”
“Jangan sendirian maksudnya, ayo kita bareng-bareng! Kita sebar pakai akun baktinusa (beasiswa aktivis nusantara), biar jadi project baktinusa sekalian aja, biar makin banyak yang tahu, kapling surga buat kita bareng-bareng aja, kita sama-sama bangun rumah di surga,” kata Mbak Hasna.

Aku pun tersenyum. Aku pun ingat, ada adik tingkat yang sedang membuat laporan photostory tentang ‘Anak Pemungut Sampah’ dan tentang Mika, aku bergegas menghubunginya dan meminta foto Mika. Malam itu juga, kami membuat poster dan pesan broadcast untuk disebar bernama #BajuLebaranuntukMika

Menuju akhir Ramadhan, 2018
Seminggu berselang, tak kurang, ratusan ribu sudah masuk ke rekening kami. Menuju lebaran, kami tutup kotak donasi, nominal yang terkumpul kami belanjakan bersama. Bukan hanya baju lebaran, mukena, seragam sekolah, sepatu, tas, bahkan kue kue lebaran pun bisa kami beli untuk mengukir senyum Mika lebaran nanti.

Selepas berbelanja, kami pun ke rumah Mika, rumah di pinggir kali itu seluruhnya dari bambu dan seng besi, tak lebih dari 3 x 3 meter. Sepetak kamar, satu ruang tengah, dan dapur ibarat tak bersekat, rumah tanpa lantai itu bahkan dindingnya dari anyaman bambu yang berlubang sana-sini.

Betapa bahagianya aku, Mika yang malu-malu itu kini punya baju baru untuk lebaran nanti.

Bahagia tak terkira, ternyata di sekeliling kita banyak orang baik. Banyak yang akan tergerakkan apabila kita berbicara tentang kebaikan. Dari kisah Mika tadi, aku menyadari, bahwa selamanya aku tidak akan sendiri, berbagi itu indah. Bukan hanya dari kita untuk mereka, tetapi dari kita yang menggerakan lebih banyak orang untuk ikut membantu lebih banyak orang lain.

Bukan lagi saatnya memonopoli kebaikan, tetapi menggerakan banyak orang untuk berbuat kebaikan, memperluas kapling surga agar banyak penghuninya.

Jangan pernah takut sendirian, berbagi pasti ada temennya!

Jangan takut berbagi pula, kadang hal yang tak berarti bagi kita bisa sangat berarti bagi yang lainnya. Jangan ragu buat berdonasi dan membantu saudara-saudara kita yang membutuhkan. Di luar sana ada banyak Mika-Mika lain yang butuh bantuan dari kita. 

Salurkan donasi di dompet dhuafa yuk! Selain akan disalurkan untuk bencana sosial dan kemanusiaan, dompet dhuafa juga akan menyalurkannya untuk memajukan pendidikan Indonesia melalui Dompet Dhuafa Pendidikan. 

“Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Jangan Takut Berbagi yang diselenggarakan oleh Dompet Dhuafa”












20.3.19

KARENA MENJADI JUARA TAK MELULU TENTANG KITA




Dalam setiap hal, bahkan setiap waktu,  selalu terngiang-ngiang dalam benak,


_"Jika kamu mendapati suatu hal yang tidak semestinya, maka cari tahu alasannya.  Jika tak ada yang bisa merubahnya,  maka berbahagialah, Allah berikan kesempatan itu padamu."_


Saat itu, dalam pikiran kami adalah bagaimana kita bisa membawa perubahan,  sesedikit mungkin.

Teman-temenku mulai menanyakan apresiasi,  seperti perlombaan-perlombaan lain pada umumnya.

Kami bersepakat. Mengusahakan apresiasi,  dan membawa perubahan pada sistem.

_Pada suatu ketika_

"Teman-teman,  kita diminta mengumpulkan sertifikat,  sepertinya sebentar lagi, apa yang kita usahakan tercapai," kataku.

_Berbulan-bulan setelahnya_

"Jadi,  gimana perkembangan pengajuan apresiasi yang kemarin?" tanya beberapa orang padaku.


"Semua berkas sudah masuk,  ditunggu ya, insyaAllah bisa, " kataku saat itu.

_Berbulan-bulan setelahnya lagi_

Malam itu senyap tapi agak sesak.  Aku mendapatkan pesan di whatsapp,  salah satu adikku mengabarkan. Apresiasi akhirnya benar diberikan, hanya saja, bagi mereka yang juara 1-3 saja.


Sedikit sedih, karena aku hanya masuk 4 besar. Lebih sedih lagi, membayangkan mereka, beberapa anggota yang bertanya padaku,  dan kujawab InsyaAllah.

Ya Tuhan,  maafkan aku bila mengecewakan mereka.

Lambat laun kabar itu terdengar,  mendekati acara besar yang akan kami lakukan.


Awalnya aku pesimis,  bagaimana aku akan menjelaskan kepada mereka.


Ternyata,  mereka tak sedikit pun gentar,  tidak sedikit pun berubah pikiran.

Berhari-hari,  kesana kemari,  menunggu kepastian dalam segala hal,  dan mempersiapkan segalanya.

_Sampai pada waktunya_

Merinding.
Aku kehabisan kata-kata.

Ternyata,  bahagia sesederhana itu.  Melihat perjuangan yang tidak sia-sia. Melihat teman-teman seperjuanganmu,  sama denganmu,  menahan air mata untuk tidak tumpah.


Memang bukan kita yang berdiri disana,  memang bukan kita yang berselempang,  memang bukan kita yang memanggul piala, tapi betapa aku melihat dengan mataku sendiri,  mereka semua tersenyum.


Akhirnya,  mimpi itu terwujudkan.


Terlihat sederhana, tapi begitu bermakna.


Sungguh,  semangat dan dedikasi yang teramat menyentuh hati.
Karena berbuat baik itu menular.
Karena ajakan itu masih berlaku.


Karena berbesar hati, itulah yang kemudian akan menjadi titik temu yang menyatukan.


Bukan hanya sekedar juara.
Bukan hanya tentang nominal, tumpukan-tumpukan sertifikat,  gundukan piala,  atau bahkan selempang-selempang yang terlihat hebat


Tapi bagaimana hati kita, yang berbesar hati,  bercita-cita untuk membawa perubahan di masa selanjutnya.


Kami berpelukan.  Senyum kami tetap berkembang. Meski bukan kami yang ada di sana. Kami semua tersenyum. Menyadari,  semua kerja keras telah terbayar lunas.


Kami semua belajar.
Menjadi juara tak melulu tentang kita.

_Allah Maha Tahu,  Mana yang Terbaik_

Surakarta,  20 Maret 2019

13.3.19

Belajar Menjadi Perempuan (1)



Akhir-akhir ini saya sering tersenyum
Nyatanya saya masih perlu banyak belajar
Saya menemukan sebuah konsep yang saya yakini dapat menjadi salah satu pedoman hidup
Dalam tataran puncak pembelajaran yang paling tinggi, salah satunya
Tidak lain dan tidak bukan
Adalah belajar menjadi seorang perempuan


Betapa tinggi derajat perempuan
Harus
Menjadi individu yang kokoh dan cerdas
Menjadi seorang anak yang berbakti
Mampu
Menjadi istri sholihah dan mengabdikan diri kepada suami
Menjadi ibu yang teduh untuk anak-anaknya


Dalam kisah-kisah terdahulu, dikisahkan betapa tangguhnya Maysitoh, dengan keteguhan hati dan kesabarannya ia mengikhlaskan dirinya terjun ke belanga mendidih untuk mempertahankan keesaan Allah.

Dalam kisah-kisah terdahulu, dikisahkan betapa bersahajanya Fatimah putri Rasulullah

Dalam kisah-kisah terdahulu, diceritakan betapa mulianya Maryam yang diuji dengan ujian yang teramat berat

Dalam kisah-kisah terdahulu, disebutkan betapa lembutnya Asiyah, istri Firaun.

Dalam kisah-kisah terdahulu, kita mengenal sosok Khadijah, yang begitu setia, begitu bijaksana, begitu dermawan, dan begitu cerdas.


Fitrah perempuan adalah menjadi madrasah
Dan sebaik-baik madrasah, melalui seorang Ibu yang cerdas lagi sholehah

Tentunya tak akan sama dengan kisah pembuatan seribu candi dalam satu malam. Menjadi cerdas dan keibuan, menjadi madrasah terbaik, menjadi seorang istri yang sholehah pun membutuhkan waktu. Bukan dalam sekejab.



11.3.19

Berkarya atau Mati




Setiap orang yang kita ketemui di jalan sejatinya adalah ladang pembelajaran.

Hari itu cukup padat rasanya, aku dan adik organisasiku harus menunggu salah seorang pejabat kampus untuk merealisasikan usulan kami di Ikatan Mahasiswa Berprestasi UNS.
Kami menunggu sambil mengobrol, banyak hal, dan dari kesemuanya kesimpulannya adalah tentang peran.



Kami mengingat-ingat, betapa banyak jajaran orang-orang yang terkenal di kampus akan tenggelam begitu saja setelahnya bila tak ada karya pendukung lainnya.

Seorang menteri atau presiden di BEM akan dikenal di tahun itu saja, oleh orang-orang di lingkarannya saja, di satu kabinet di BEM itu saja dan selanjutnya akan mudah terlupakan oleh generasi selanjutnya.

Seorang mawapres pun begitu. Euforia kemenangan hanya sekejab, diingat hanya sepintas, dibanggakan hanya sekilas waktu saja, hingga waktu bergulir, dan Mawapres tahun selanjutnya diumumkan.

Everything will change.
Kejayaan itu sementara.

Dan niat akan menjadi penentu di dalam diri kita.
Bila senantiasa ingin dikenal orang, maka haus eksistensi yang akan kita dapatkan
Bila tak dikenal orang, maka kecewa yang akan kita rasakan.

Bila niat kita bermanfaat untuk orang lain,
Pasti justru kita akan terus menerus termotivasi untuk membuat karya-karya baru.

Bila gajah mati meninngalkan gading, manusia mati meninggalkan karya
Kalau kita tidak berkarya, lantas akan dikenang sebagai apa?

Bila di dunia saja kita tidak berkarya dan berdampak
Lantas kita akan dikenang sebagai apa?