Akhir Tahun, 2015
Aku masih malu-malu kala itu, salah seorang kakak
tingkatku di kampus mengajakku ke sebuah sekolah. Aku masuk ke ruangan
bernamakan perpustakaan yang menjadi bangunan paling ujung di sekolah. Saat aku
masuk dan melihat sekeliling, aku tak merasa seperti sedang berada di perpustakaan.
Hanya ada beberapa buku yang tersusun tidak rapi di satu-satunya rak kayu yang
ada.
Beginikah potret sekolah di dekat kampus? tanyaku di
dalam hati saat itu.
Hari itu, yang tak kuingat tepatnya tanggal berapa, aku
bertemu dengannya. Anak kecil polos yang masih terbata-bata membaca. Aktivitas
yang harusnya mengerjakan pekerjaan rumah di buku LKS pun tak bisa dikerjakan.
“Mana mungkin bisa mengerjakan, anak ini sama sekali
tidak bisa membaca,” ujarku saat itu. Jadilah aku mengajarkannya membaca,
mengenal kembali huruf yang untuknya masih terbalik-balik. Aku masih ingat, b
dibacanya d, d dibacanya p, dan yang lainnya.
Aku tetap membersamainya, hingga waktu berlalu, saat
aku tak lagi menjadi bagian dari organisasi yang melakukan pengabdian untuk mengajar
di sekolah itu. Tak lama setelah itu, aku mendengar kabar, organisasi itu benar-benar
menutup akivitasnya dan sudah tak lagi bersinggungan dengan sekolah yang hanya
berjarak tak kurang lima menit dari kampusku, universitas negeri di Solo.
Pertengahan tahun,
2017
Seorang bocah, berkulit kecokelatan, berjalan menunduk
pelan-pelan bersamaan dengan karung putih yang ia sandarkan di bahu. Sesekali
ia berlari dan tertawa. Ternyata, ia tidak sendiri, berjarak beberapa meter di
depannnya ada seorang perempuan paruh baya yang juga membawa karung sampah,
dengan jumlah yang lebih banyak, tentunya. Aku memicingkan mataku, seperti
mengenali bocah itu, dan aku pun menghampirinya.
“Mikaaaaaaa,” teriakku. Ia menunduk, malu-malu. Ibunya banyak
bercerita, setiap hari, Mika pasti membantunya, sepulang sekolah.
“Kapan-kapan saya main ke tempat Mika ya Bu,” kataku.
“Tapi tempat saya seadanya, Mbak,” jawab Ibu Mika. Ibu Mika mengarahkan jalan menuju rumahnya, aku mengingat-ingat dan berkeinginan ke
sana suatu saat nanti.
Terbersit keinginan di hati untuk membantu Mika.
Apakah ia sudah bisa membaca, bagaimana belajarnya
kalau setiap hari membantu ibunya, dan pertanyaan-pertanyaan yang lain menyelimuti
benak.
Namun, pertanyaan tetap menjadi pertanyaan, karena kesibukan
dan merasa sendiri, belum ada teman yang membersamai.
Suatu siang di
pertengahan Ramadhan, 2018.
“Mikaaaa,” teriakku, menepikan sepeda motor di pertigaan
jalan kampus, menghampiri Mika dan ibunya.
“Eh, Mbak” kata Ibu Mika menyapaku.
“Mika puasa ndak?” tanyaku.
“Alhamdulillah, Mbak, puasa”
“Ibu biasanya ndak pulkam Buk?”
“Endak Mbak, wong kalo hari raya ya sholat terus cari
sampah lagi,” ujar Ibu Mika, tersenyum.
Aku membayangkan, saat adikku di rumah sedang
asik-asiknya meminta kepada ibuku untuk dibelikan baju baru untuk menyongsong hari kemenangan pasca ramadhan, Mika tak ada kepikiran sama sekali untuk itu. Bahkan, di hari yang paling
dinantikan oleh umat Islam itu, ia tetap membantu ibunya mencari sampah untuk
menyambung hidup keluarganya.
Suatu hari, di
bulan Ramadhan, 2018
“Kamu kenapa, Is” tanya Mba Hasna, kakakku di beasiswa
baktinusa, pemberian dompet dhuafa Pendidikan.
“Dulu aku pernah kepikiran buat bantu orang Mbak, tapi
aku merasa hanya wacana belaka, sudah lama, mungkin sejak setahun yang lalu,”
kataku.
“Terus?”
“Kali ini aku ga akan wacana deh mba, kayanya aku mau bantu Mika, enaknya aku sendiri aja atau buka donasi ya Mbak?" tanyaku.
“Eh, jangan”
“Ha?”
“Jangan sendirian maksudnya, ayo kita bareng-bareng! Kita
sebar pakai akun baktinusa (beasiswa aktivis nusantara), biar jadi project baktinusa sekalian aja, biar
makin banyak yang tahu, kapling surga buat kita bareng-bareng aja, kita
sama-sama bangun rumah di surga,” kata Mbak Hasna.
Aku pun tersenyum. Aku pun ingat, ada adik tingkat
yang sedang membuat laporan photostory tentang
‘Anak Pemungut Sampah’ dan tentang Mika, aku bergegas menghubunginya dan
meminta foto Mika. Malam itu juga, kami membuat poster dan pesan broadcast untuk disebar bernama #BajuLebaranuntukMika
Menuju akhir
Ramadhan, 2018
Seminggu berselang, tak kurang, ratusan ribu sudah
masuk ke rekening kami. Menuju lebaran, kami tutup kotak donasi, nominal yang
terkumpul kami belanjakan bersama. Bukan hanya baju lebaran, mukena, seragam
sekolah, sepatu, tas, bahkan kue kue lebaran pun bisa kami beli untuk mengukir
senyum Mika lebaran nanti.
Selepas berbelanja, kami pun ke rumah Mika, rumah di
pinggir kali itu seluruhnya dari bambu dan seng besi, tak lebih dari 3 x 3
meter. Sepetak kamar, satu ruang tengah, dan dapur ibarat tak bersekat, rumah
tanpa lantai itu bahkan dindingnya dari anyaman bambu yang berlubang sana-sini.
Betapa bahagianya aku, Mika yang malu-malu itu kini punya
baju baru untuk lebaran nanti.
Bahagia tak terkira, ternyata di sekeliling kita
banyak orang baik. Banyak yang akan tergerakkan apabila kita berbicara tentang
kebaikan. Dari kisah Mika tadi, aku menyadari, bahwa selamanya aku tidak akan
sendiri, berbagi itu indah. Bukan hanya dari kita untuk mereka, tetapi dari
kita yang menggerakan lebih banyak orang untuk ikut membantu lebih banyak orang
lain.
Bukan lagi saatnya
memonopoli kebaikan, tetapi menggerakan banyak orang untuk berbuat kebaikan,
memperluas kapling surga agar banyak penghuninya.
Jangan pernah
takut sendirian, berbagi pasti ada temennya!
Jangan takut berbagi pula, kadang hal yang tak berarti bagi kita bisa sangat berarti bagi yang lainnya. Jangan ragu buat berdonasi dan membantu saudara-saudara kita yang membutuhkan. Di luar sana ada banyak Mika-Mika lain yang butuh bantuan dari kita.
Salurkan donasi di dompet dhuafa yuk! Selain akan disalurkan untuk bencana sosial dan kemanusiaan, dompet dhuafa juga akan menyalurkannya untuk memajukan pendidikan Indonesia melalui Dompet Dhuafa Pendidikan.
“Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Jangan Takut Berbagi yang diselenggarakan oleh Dompet Dhuafa”