;

19.4.19

Jangan takut sendirian! Berbagi pasti ada temennya!






Akhir Tahun, 2015
Aku masih malu-malu kala itu, salah seorang kakak tingkatku di kampus mengajakku ke sebuah sekolah. Aku masuk ke ruangan bernamakan perpustakaan yang menjadi bangunan paling ujung di sekolah. Saat aku masuk dan melihat sekeliling, aku tak merasa seperti sedang berada di perpustakaan. Hanya ada beberapa buku yang tersusun tidak rapi di satu-satunya rak kayu yang ada.
Beginikah potret sekolah di dekat kampus? tanyaku di dalam hati saat itu.

Hari itu, yang tak kuingat tepatnya tanggal berapa, aku bertemu dengannya. Anak kecil polos yang masih terbata-bata membaca. Aktivitas yang harusnya mengerjakan pekerjaan rumah di buku LKS pun tak bisa dikerjakan. 

“Mana mungkin bisa mengerjakan, anak ini sama sekali tidak bisa membaca,” ujarku saat itu. Jadilah aku mengajarkannya membaca, mengenal kembali huruf yang untuknya masih terbalik-balik. Aku masih ingat, b dibacanya d, d dibacanya p, dan yang lainnya.

Aku tetap membersamainya, hingga waktu berlalu, saat aku tak lagi menjadi bagian dari organisasi yang melakukan pengabdian untuk mengajar di sekolah itu. Tak lama setelah itu, aku mendengar kabar, organisasi itu benar-benar menutup akivitasnya dan sudah tak lagi bersinggungan dengan sekolah yang hanya berjarak tak kurang lima menit dari kampusku, universitas negeri di Solo.

Pertengahan tahun, 2017

Seorang bocah, berkulit kecokelatan, berjalan menunduk pelan-pelan bersamaan dengan karung putih yang ia sandarkan di bahu. Sesekali ia berlari dan tertawa. Ternyata, ia tidak sendiri, berjarak beberapa meter di depannnya ada seorang perempuan paruh baya yang juga membawa karung sampah, dengan jumlah yang lebih banyak, tentunya. Aku memicingkan mataku, seperti mengenali bocah itu, dan aku pun menghampirinya.

“Mikaaaaaaa,” teriakku.  Ia menunduk, malu-malu. Ibunya banyak bercerita, setiap hari, Mika pasti membantunya, sepulang sekolah.
“Kapan-kapan saya main ke tempat Mika ya Bu,” kataku.
“Tapi tempat saya seadanya, Mbak,” jawab Ibu Mika. Ibu Mika mengarahkan jalan menuju rumahnya, aku mengingat-ingat dan berkeinginan ke sana suatu saat nanti.
Terbersit keinginan di hati untuk membantu Mika.
Apakah ia sudah bisa membaca, bagaimana belajarnya kalau setiap hari membantu ibunya, dan pertanyaan-pertanyaan yang lain menyelimuti benak.
Namun, pertanyaan tetap menjadi pertanyaan, karena kesibukan dan merasa sendiri, belum ada teman yang membersamai.

Suatu siang di pertengahan Ramadhan, 2018.
“Mikaaaa,” teriakku, menepikan sepeda motor di pertigaan jalan kampus, menghampiri Mika dan ibunya.
“Eh, Mbak” kata Ibu Mika menyapaku.
“Mika puasa ndak?” tanyaku.
“Alhamdulillah, Mbak, puasa”
“Ibu biasanya ndak pulkam Buk?”
“Endak Mbak, wong kalo hari raya ya sholat terus cari sampah lagi,” ujar Ibu Mika, tersenyum.
Aku membayangkan, saat adikku di rumah sedang asik-asiknya meminta kepada ibuku untuk dibelikan baju  baru untuk menyongsong hari kemenangan pasca ramadhan, Mika tak ada kepikiran sama sekali untuk itu. Bahkan, di hari yang paling dinantikan oleh umat Islam itu, ia tetap membantu ibunya mencari sampah untuk menyambung hidup keluarganya.

Suatu hari, di bulan Ramadhan, 2018
“Kamu kenapa, Is” tanya Mba Hasna, kakakku di beasiswa baktinusa, pemberian dompet dhuafa Pendidikan.
“Dulu aku pernah kepikiran buat bantu orang Mbak, tapi aku merasa hanya wacana belaka, sudah lama, mungkin sejak setahun yang lalu,” kataku.
“Terus?”
“Kali ini aku ga akan wacana deh mba, kayanya aku mau bantu Mika, enaknya aku sendiri aja atau  buka donasi ya Mbak?" tanyaku.
“Eh, jangan”
“Ha?”
“Jangan sendirian maksudnya, ayo kita bareng-bareng! Kita sebar pakai akun baktinusa (beasiswa aktivis nusantara), biar jadi project baktinusa sekalian aja, biar makin banyak yang tahu, kapling surga buat kita bareng-bareng aja, kita sama-sama bangun rumah di surga,” kata Mbak Hasna.

Aku pun tersenyum. Aku pun ingat, ada adik tingkat yang sedang membuat laporan photostory tentang ‘Anak Pemungut Sampah’ dan tentang Mika, aku bergegas menghubunginya dan meminta foto Mika. Malam itu juga, kami membuat poster dan pesan broadcast untuk disebar bernama #BajuLebaranuntukMika

Menuju akhir Ramadhan, 2018
Seminggu berselang, tak kurang, ratusan ribu sudah masuk ke rekening kami. Menuju lebaran, kami tutup kotak donasi, nominal yang terkumpul kami belanjakan bersama. Bukan hanya baju lebaran, mukena, seragam sekolah, sepatu, tas, bahkan kue kue lebaran pun bisa kami beli untuk mengukir senyum Mika lebaran nanti.

Selepas berbelanja, kami pun ke rumah Mika, rumah di pinggir kali itu seluruhnya dari bambu dan seng besi, tak lebih dari 3 x 3 meter. Sepetak kamar, satu ruang tengah, dan dapur ibarat tak bersekat, rumah tanpa lantai itu bahkan dindingnya dari anyaman bambu yang berlubang sana-sini.

Betapa bahagianya aku, Mika yang malu-malu itu kini punya baju baru untuk lebaran nanti.

Bahagia tak terkira, ternyata di sekeliling kita banyak orang baik. Banyak yang akan tergerakkan apabila kita berbicara tentang kebaikan. Dari kisah Mika tadi, aku menyadari, bahwa selamanya aku tidak akan sendiri, berbagi itu indah. Bukan hanya dari kita untuk mereka, tetapi dari kita yang menggerakan lebih banyak orang untuk ikut membantu lebih banyak orang lain.

Bukan lagi saatnya memonopoli kebaikan, tetapi menggerakan banyak orang untuk berbuat kebaikan, memperluas kapling surga agar banyak penghuninya.

Jangan pernah takut sendirian, berbagi pasti ada temennya!

Jangan takut berbagi pula, kadang hal yang tak berarti bagi kita bisa sangat berarti bagi yang lainnya. Jangan ragu buat berdonasi dan membantu saudara-saudara kita yang membutuhkan. Di luar sana ada banyak Mika-Mika lain yang butuh bantuan dari kita. 

Salurkan donasi di dompet dhuafa yuk! Selain akan disalurkan untuk bencana sosial dan kemanusiaan, dompet dhuafa juga akan menyalurkannya untuk memajukan pendidikan Indonesia melalui Dompet Dhuafa Pendidikan. 

“Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Jangan Takut Berbagi yang diselenggarakan oleh Dompet Dhuafa”