;

26.8.16

Kolaborasi yang Bermetamorfosa



Malam semakin menampakkan ketenangan
Ketika rembulan semakin beranjak meninggi
Udara malam semakin berembus menusuk tulang
Di kaki gunung lawu


Mataku menyipit kelaparan akan gelap, tubuh mulai limbung menyimpan kerinduan terhadap kasur. Tujuan utamaku kini ialah kamar, tempat berkeluh kesah atas kegiatanku hari ini, tempat mengadu dan tempat memanjakan mata yang tak sabar terpejam.

Serambi merebahkan tubuh, kuraih handphoneku dan kugeser layarnya melihat fitur instagram yang selalu menarik untuk dilihat, tentu saja meskipun mata ini tak kuasa untuk menahan bermanjaan dengan gelap. Tarik ulur gambar-gambar di instagram membuatku menyimpulkan beberapa hal tentang makna kolaborasi. Iya, kata yang sering digaungkan di mana saja untuk mengartikan arti pengorganisasian dan kerja sama.

"Ah, jadi semuanya omong kosong" pikirku sejenak

Aku melihat berbanyak orang menginginkan keadilan, menginginkan kerjasama bahu membahu, tapi ternyata semuanya hanya untuk sekedar kata pencitraan.

Makna kolaborasi jadi ternodai karenanya, apa yang katanya baik belum tentu baik.

Kolaborasi yang seharusnya merangkul menjadi kata yang dikhianati, menjadi kata yang mengecewakan, karena apa yang seharusnya disatukan menjadi sesuatu yang menjadikan segalanya bersekat-sekat.

Kata perjuangan melesat masuk ke semua telinga orang-orang, namun kata kolaborasi menjadi bak angin yang lewat dari kuping kanan ke kuping kiri kemudian lenyap.


"Kolaborasi abal-abal", kataku

Langit tetap gelap di luar jendela, udara tetap dingin, hanya saja aku berharap semangat dan keadilan itu semakin melenyapkan sekat-sekat dan membuat semuanya utuh kembali.

12.8.16

Rumah yang Kini Asing



Waktu menunjukkan pukul tiga sore, aku bergegas menuju rumah yang akhir-akhir ini sering kutinggalkan cukup lama. Aku melempar tasku di ruang tamu, kemudian berlari ke ruang tengah, sepintas warna dinding, penataan hiasan dinding, meja kursi, dan furniture semacam lemari bifet tetap sama seperti semula, tivi juga masih dalam posisi biasanya. Namun, tetap saja ada yang terasa berbeda dan aku masih mencari-cari.

Sesampai di kamar, kulihat di bayanganku  semuanya asing, sampai-sampai aku pun bertanya-tanya yang asing aku-nya atau memang asing tempat ini (red: rumah). Sampai tiba-tiba kudengar suara dari belakang 

"Na, ngapain ke sini?" 

Akupun bingung setengah sadar

 "Apakah ini benar-benar rumahku?"

Kujawab hanya dengan diam, lantas aku mulai berkeliling rumah, mencegah keanehan-keanehan yang terjadi.

" Oh tidak! Rumahku ini ditempati berbanyak orang dan mereka saudaraku (katanya), yang sangat aku cintai dan aku banggakan (padahal aku sama sekali tidak mengenal mereka semua)"

Saking malunya aku keluar kamar sesegera mungkin, sambil melihat sekeliling, pajangan foto-foto itu berubah iramanya, bukan lagi dihiasi warna-warna pastel kesukaanku, melainkan dengan figura-figura berisikan foto-foto mereka yang (katanya saudaraku) aku cintai dan aku banggakan.

Kusaut lagi tasku di ruang tamu serambi berlari ke luar rumah, kutengok lagi pintu yang baru saja berderik, kubaca pelan-pelan bertuliskan "Rumah Kita". Aku makin bingung, kita siapa yang dimaksud? 

Kucubit pipiku sekali lagi dan ternyata benar, rumah itu tetap saja rumahku. Rumah yang kini asing dan tak lagi cukup nyaman untuk tertawa.