Pukul 07.00. Mataku terbelalak
melihat jam dinding di kamarku menunjukkan angka itu. Aku gelagapan. Habis
subuh tadi aku ketiduran ternyata. Aku melangkah gontai, menyambar jilbab dan
setengah terburu-buru menuju kamar mandi yang terpisah dari kamarku. Sepi
sekali! Kamar mandi yang biasanya ramai dengan antrean teman-teman kostku kini
tidak ada. Kudongakkan kepalaku ke arah jemuran, hanya ada dua buah handuk
disana, milik Suci dan Dian, teman kostku yang juga masih bertahan di sini, di
Solo.
Selepas mandi dan menjemur handuk dan
cucian, aku kembali ke kamar. Aku memasak nasi, lalu mencari-cari bahan makanan
yang tersisa. Tinggal satu bungkus penyedap rasa yang kuputuskan untuk menjadi
lauk sarapanku pagi ini. Tak ada lagi harapan di luar, tak banyak warung-warung
yang menjual bahan makanan, sedang warung-warung makan sudah banyak yang tutup,
lagi pula aku sudah tak punya cukup banyak uang untuk bertahan. Ruangan berukuran
3x3 meter ini yang menjadi tempat bernaungku sekarang, Retno teman sekamarku
sudah lebih dari seminggu pulang kampung.
Sudah tiga minggu ini aku hanya
berada di kamar kost, tak pergi kemana-mana. Sesekali aku pergi ke warung Mbok Inah
hanya untuk sekedar membeli sebutir telur atau satu papan tempe yang aku goreng
sedikit demi sedikit selama beberapa hari. Sejak resmi ada satu pasien positif
corona yang meninggal tanggal 12 Maret yang lalu, Solo menerapkan status KLB
dan membatasi gerak penduduknya. Aktivitas ekonomi perlahan lumpuh. Begitu pun
denganku, aku yang mengandalkan les privat sebagai mata pencaharian pun harus tutup
lapak, sekolah-sekolah saja diliburkan, pertemuan antar orang dibatasi, tidak
ada yang menerimaku dalam kondisi seperti saat ini.
Aku hanya berdiam di kost, mendengarkan
lagu, terlibat beberapa kegiatan galang donasi online, belajar, membaca buku,
dan sesekali berbincang dengan Suci dan Dian. Di balik dinding kamarku, sering
sekali aku mendengar Suci atau Dian bertelefon ria dengan keluarganya, kudengar
kadang mereka tertawa, kadang mengeluh, terkadang begitu manja kepada
keluarganya. Jauh di dalam hatiku, aku pun menginginkannya.
Malam harinya, aku, Dian, dan Suci
menghabiskan waktu bersama. Kami menonton serial film di Iflix yang belum
pernah kami tonton. Dian nyerocos
menceritakan kekesalannya pada grup keluarganya, banyak sekali tulisan-tulisan
tanpa sumber yang asal copy-paste dan dipercaya oleh keluarga besarnya. Cerita Dian disambut hangat oleh
Suci yang menceritakan hal serupa. Aku hanya sesekali tersenyum dan terdiam.
“Masak ya kata bude aku buat mencegah
virus corona itu masak sayur lodeh tujuh rupa, ga masuk akan banget ga sih?”
ujar Dian.
“Samaaa banget, kemarin kan akun cegatan
solo posting foto wajah semar di asapnya Merapi itu dibilang kabar baik,
pagebluk akan segera usai katanya, jadi kita ga perlu cemas,” tambah Suci.
“Aneh-aneh aja ini grup keluarga,
penyebar hoax terbesar, soalnya literasi medianya emak-emak bapak-bapak kita itu
kurang banget, menganggap setiap hal adalah benar” ujar Dian.
“Ah, btw, kalian berdua jaga diri
baik-baik ya, aku bakalan dijemput orangtuaku besok” ujar Suci tiba-tiba
“Kamu pulang besok?? Cepet banget Ci”
sanggahku.
“Yeee cepet apaan, udah lama kali,
kata keluarga besarku mending aku pulang aja, secepatnya, sebelum bulan ramadhan
datang, sebelum lebaran, kalau makin kesana ntar makin sepi berabe nanti” ujarnya lagi.
“Meskipun kamu bakalan jadi ODP?” tanyaku.
“Iya Tik, bismillah aja semoga aku
beneran sehat dan ga jadi carrier virus, gapapa nanti aku lapor ke
perangkat desa dan akan mengisolasi diri 14 hari di rumah” kata Suci kemudian.
Keesokan harinya, Suci beneran pulang
ke Malang, meninggalkan aku dan Dian di Solo. Tanpa dijemput, pulang ke kampung
halaman memang kini menjadi hal yang sulit. Banyak transportasi umum yang sudah
tak beroperasi, bandara ditutup, bus dan kereta keduanya tidak ada. Kalaupun
ada, sesekali dan mahal, itupun harus melalui pemeriksaan yang cukup ketat oleh
petugas di terminal maupun di stasiun.
Tapi entah bagaimanapun itu, aku
tidak bisa pulang sekarang. Aku tidak punya uang untuk pulang ke Lampung,
terlepas dari itu aku benar-benar takut jika aku terjangkit virus dan menjadi carrier
virus untuk nenekku di Lampung. Kadang aku cukup merasa diriku begitu menyedihkannya.
Ketika teman-temanku dikhawatirkan oleh keluarganya, orangtuanya, kupikir tak
ada yang benar-benar mengkhawatirkanku, kecuali nenekku tentunya.
Salah satu mimpi terbesarku begitu sederhana,
aku ingin memiliki grup keluarga, grup yang dikesalkan oleh banyak
teman-temanku itu. Aku ingin sesekali dalam hidupku ditelepon orangtuaku,
divideo-call, bahkan disms pun aku begitu menginginkannya.
Saat aku berusia tiga bulan, ayahku
meninggalkanku untuk bekerja di luar negeri, saat usiaku menginjak usia empat
tahun ibuku menyusul ayahku. Sejak saat itu, nenek yang mengasuhku. Aku bertemu
mereka lagi saat umurku tujuh tahun, kelas 2 SD kala itu, dan aku sudah punya
adik baru yang berusia 1,5 tahun. Setahun setelahnya, mereka pergi ke Sulawesi
dan meninggalkanku. Aku baru bertemu mereka lagi Ketika aku kelas 7 SMP, mereka
membawa kembali adik baru berusia 1,5 tahun. Setelah itu mereka pergi dan tak
pernah kembali. Dulu, aku punya cita-cita sederhana, setiap hari belajar giat
agar mendapatkan peringkat pertama di kelas. Harapanku cuma satu, semoga suatu
ketika orangtuaku mau datang mengambilkan raporku. Namun, nyatanya aku tidak
pernah mendapatkannya. Setiap pengambilan rapor, aku selalu meminta tolong
tetanggaku, yang berbeda-beda orang tentunya. Bahkan sampai di kelulusan SMAku
dimana aku mendapat juara paralel di sekolah pun, orangtuaku tetap tidak
datang.
Hubunganku dengan orangtuaku hanya
sebatas mereka mengirim uang untuk biaya kebutuhan hidupku, mereka sama sekali
tak pernah menanyakan kabarku. Hingga pada suatu ketika, saat aku masuk kelas
dua SMA ayahku menelepon dan meminta aku keluar dari sekolah. Ayahku sudah tak
sanggup membiayai sekolahku katanya. Saat itu, kepalaku pening, kebingungan hadir
di pikiranku, aku tidak mau putus sekolah. Aku menceritakan masalahku ke guru BK,
untungnya aku mendapat keringanan biaya sekolah dan teman-temanku membantuku
sehingga aku bisa terus bersekolah. Sayangnya, keputusanku tidak disenangi
ayahku, ia menganggapku anak pembangkang yang tidak bisa diatur. Sejak saat itu,
tak pernah lagi ada komunikasi di antara kami. Seluruh telepon dariku ditolak,
seluruh pesan dariku tak pernah diindahkan, bahkan sebagai anak laki-laki
satu-satunya dari nenekku, ayah tak pernah lagi datang. Aku terus menunggunya
datang, hingga kemudian aku merantau ke Solo untuk melanjutkan kuliah, aku tak
pernah bertemu mereka kembali, ayah, ibu, dan adik-adikku.
Di tengah pandemi yang tak tahu kapan
akan berakhir ini, kita dihimbau untuk tetap di rumah, berkumpul dengan
keluarga. Meskipun lama-lama terasa membosankan karena tidak berkegiatan di
luar, bersyukurlah! karena masih bisa bersama keluarga di rumah. Di luar sana, ada orang-orang sepertiku yang tak bisa
merasakan hal yang sama. Bahkan untuk bertemu atau sekedar mengobati rindu lewat grup keluarga pun tidak bisa merasakannya.
Ayah, Ibu, adik-adikku, aku rindu….