Sore itu aku
dan beberapa temanku pulang ke rumah (asrama), cukup lelah hingga kemudian kami
sama-sama menginginkan semangkok mie ayam. Kami bergegas karena hari sudah
cukup sore, takut akan segera tutup warungnya.
Pertama
kami menuju Mie Ayam langganan, mie ayam terenak versi lidah kami yang tidak
cukup jauh dari asrama, ternyata tutup.
Kami melaju
ke Warung Mie Ayam yang lain. Sama, tutup. Hingga ke
Mie Ayam ketiga, dan alhamdulillah buka.
Kami makan
dan kemudian kembali ke rumah.
Kami salat
Maghrib dan bermalas-malasan mandi, kami memang cukup lelah karena agenda kami
dari pagi tadi hingga sore.
“Is, salat
di Masjid kampus, yuk!” sebuah pesan masuk ke notifikasi whatsappku.
“Engga ah,
aku mau salat di masjid deket asrama aja,” jawabku
“Loh,
kenapa? Biasanya kamu paling semangat salat di masjid kampus,” tanyanya.
“Masih
capek, pengen yang salatnya sebentar aja,” jawabku.
Azan Isya
berkumandang dan aku bergegas mandi, disusul oleh temanku.
Selepas
itu, kami menuju Masjid terdekat.
MasyaAllah,
masjid itu penuh dengan orang, bahkan sampai ke teras-teras hampir menyentuh
lantai bertumpukan sandal.
Tak ada
ruang yang cukup untuk kami.
Kami pun
berlari, masih mengenakan mukena dan menuju sepeda motor.
Kami
berpindah dari satu masjid ke masjid yang lain, semuanya penuh.
Hampir
putus asa, hingga kemudian kami menemukan salah satu masjid yang halamannya sangat lapang, di lapangan
sekolah dasar di daerah belakang kampus.
Kami
merapat dan menggelar sajadah kami.
Kami ketinggalan
salat isya berjamaah sehingga kami salat isya munfarid, mendengarkan ceramah,
dilanjut salat tarawih berjamaah.
“Berbahagialah,
karena di depan kita sudah datang tamu yang agung, Marhaban ya Ramadhan. Banyak
dari kita yang berdoa, bahkan dengan khusyuk untuk dipertemukan lagi dengan
Ramadhan, tapi Allah belum mengabulkan doa-doa mereka. Allah terlebih dahulu
memanggil mereka ke haribaanNya,” ujar ustaz penceramah pada malam hari itu.
Malam
dimana suasana Ramadhan mulai benar-benar terasakan.
Ingatanku
menerawang, mataku hampir basah. Aku teringat salah seorang temanku, yang
sering mengajakku dan teman-teman SMA buka bersama di bulan Ramadhan tahun
lalu, dan kini ia telah tiada. Tak ada lagi kesempatan baginya untuk
melipatgandakan pahala dan memohon jutaan ampunan di bulan suci.
Sepulang
dari salat tarawih tersebut, aku dan temanku beristighfar berkali-kali.
Betapa
malunya, mengawali bulan Ramadhan nan suci ini dengan dikalahkan oleh nafsu.
Saat banyak
orang lainnya begitu menginginkan kedatangan bulan suci ini
Betapa
malunya, lebih semangat mencari dan memakan semangkok mie ayam dibandingkan
bergegas bersiap-siap menuju masjid.
Betapa
kufurnya kami atas nikmat Allah.
Betapa nikmat dipertemukan kembali dengan Ramadhan adalah berkah yang harus terus disyukuri
Betapa nikmat dipertemukan kembali dengan Ramadhan adalah berkah yang harus terus disyukuri
Kami pun
tersadarkan untuk segera menyusun target Ramadhan, agar tak lagi terlena dengan
bisikan setan dan benar-benar menjadi hamba yang memanfaatkan waktu sebaik
mungkin.