;

7.5.19

Betapa Malu, Kalah oleh Nafsu



Sore itu aku dan beberapa temanku pulang ke rumah (asrama), cukup lelah hingga kemudian kami sama-sama menginginkan semangkok mie ayam. Kami bergegas karena hari sudah cukup sore, takut akan segera tutup warungnya.

Pertama kami menuju Mie Ayam langganan, mie ayam terenak versi lidah kami yang tidak cukup jauh dari asrama, ternyata tutup.

Kami melaju ke Warung Mie Ayam yang lain. Sama, tutup. Hingga ke Mie Ayam ketiga, dan alhamdulillah buka.

Kami makan dan kemudian kembali ke rumah.

Kami salat Maghrib dan bermalas-malasan mandi, kami memang cukup lelah karena agenda kami dari pagi tadi hingga sore.

“Is, salat di Masjid kampus, yuk!” sebuah pesan masuk ke notifikasi whatsappku.
“Engga ah, aku mau salat di masjid deket asrama aja,” jawabku
“Loh, kenapa? Biasanya kamu paling semangat salat di masjid kampus,” tanyanya.
“Masih capek, pengen yang salatnya sebentar aja,” jawabku.

Azan Isya berkumandang dan aku bergegas mandi, disusul oleh temanku.
Selepas itu, kami menuju Masjid terdekat.
MasyaAllah, masjid itu penuh dengan orang, bahkan sampai ke teras-teras hampir menyentuh lantai bertumpukan sandal.
Tak ada ruang yang cukup untuk kami.

Kami pun berlari, masih mengenakan mukena dan menuju sepeda motor.
Kami berpindah dari satu masjid ke masjid yang lain, semuanya penuh.
Hampir putus asa, hingga kemudian kami menemukan salah satu masjid yang halamannya sangat lapang, di lapangan sekolah dasar di daerah belakang kampus.
Kami merapat dan menggelar sajadah kami.
Kami ketinggalan salat isya berjamaah sehingga kami salat isya munfarid, mendengarkan ceramah, dilanjut salat tarawih berjamaah.

“Berbahagialah, karena di depan kita sudah datang tamu yang agung, Marhaban ya Ramadhan. Banyak dari kita yang berdoa, bahkan dengan khusyuk untuk dipertemukan lagi dengan Ramadhan, tapi Allah belum mengabulkan doa-doa mereka. Allah terlebih dahulu memanggil mereka ke haribaanNya,” ujar ustaz penceramah pada malam hari itu.

Malam dimana suasana Ramadhan mulai benar-benar terasakan.

Ingatanku menerawang, mataku hampir basah. Aku teringat salah seorang temanku, yang sering mengajakku dan teman-teman SMA buka bersama di bulan Ramadhan tahun lalu, dan kini ia telah tiada. Tak ada lagi kesempatan baginya untuk melipatgandakan pahala dan memohon jutaan ampunan di bulan suci.

Sepulang dari salat tarawih tersebut, aku dan temanku beristighfar berkali-kali.
Betapa malunya, mengawali bulan Ramadhan nan suci ini dengan dikalahkan oleh nafsu.
Saat banyak orang lainnya begitu menginginkan kedatangan bulan suci ini
Betapa malunya, lebih semangat mencari dan memakan semangkok mie ayam dibandingkan bergegas bersiap-siap menuju masjid.


Betapa kufurnya kami atas nikmat Allah.
Betapa nikmat dipertemukan kembali dengan Ramadhan adalah berkah yang harus terus disyukuri
Kami pun tersadarkan untuk segera menyusun target Ramadhan, agar tak lagi terlena dengan bisikan setan dan benar-benar menjadi hamba yang memanfaatkan waktu sebaik mungkin.



0 comments:

Post a Comment