;

5.12.16

Ajarkan aku untuk ikhlas



Seharian tadi aku mengisi lembaran demi lembaran kertasku dengan kalimat mendayu-dayu.
Kukatakan, betapa tidak beruntungnya aku karna tidak pernah didengar
Padahal kata demi kataku belum tentu buruk lho
Tapi aku harus mencoba ikhlas
Kasian benar aku!

Kesempatan demi kesempatan aku terjang begitu saja, beberapa
Sungguh sangat mengecewakan sebenarnya

Kutuliskan lagi, bahwa aku  ikhlas
Karena aku sudah mencintai

Kujelmakan lagi beberapa hal, terkait banyak hal
Mungkin saja memang telinga, dan mataku tertutup banyak-banyak
Salahku memang

Iya, salahku
Aku terlalu mencintai
Akhirnya, aku harus mengikhlaskan
Aku harus melepas

Siapapun, tolong aku!
Ajarkan aku untuk ikhlas.

4.12.16

Layar dan Balik Layar


Eksistensi. Siapa pun membutuhkan pengakuan atas dirinya. Eksistensi bisa berarti muncul atau terlihat, terlihat dimana pun, baik di dunia nyata maupun di dunia maya lewat saluran-saluran media baru yang menjamur di tangan-tangan siapa saja melalui ponsel pintar mereka.

Semakin banyak saja perlombaan-perlombaan untuk mengejar pengakuan orang lain lewat eksistensi yang ditampakkannya. Memang sih terlihat baik hampir menjadi goal of life setiap makhluk di muka bumi, hanya saja kompetisi demi kompetisi yang digelar semakin membuat semuanya runyam. Baik buruk seseorang memang mencitrakan dirinya untuk diterima publik, berkaitan langsung dengan personal branding seseorang. Namun, lagi-lagi kebanyakan orang terlalu ambisius untuk terlihat baik, bukan memperbaiki dirinya.

Berbicara mengenai eksistensi diri melalui sosial media, dalam dunia nyata pun masih sangat sering kita jumpai orang-orang yang memang terlihat selalu ingin tampil di depan untuk dikenal, untuk eksis, sampai melupakan bagaimana cara menjalankan kepentingan umum dengan baik dan lebih baik lagi, bahkan malah khilaf dan mengejar eksistensi untuk kepentingan pribadi belaka.

Mereka ibarat berlomba-lomba untuk menjadi selebriti, nampang di layar-layar untuk dipertonton orang, dengan memamerkan kebaikannya, kecantikannya, ketampanannya, kekayaannya, keeksisannya, dan sebagainya. Dengan menjadi selebriti, bagi mereka mungkin tercapai goal of life nya, dianggap baik di muka umum, padahal untuk menjadi bermanfaat untuk orang lain bukan hanya dengan tampil dan memperlihatkan siapa kita. 

Sering kita berpikir, untuk menjadi bermanfaat kita harus punya kuasa, harus punya digdaya untuk mempengaruhi orang lain, untuk mencapai visi yang kita inginkan yang menurut kita, kita bisa membawa perubahan. Dengan kekuasaan yang kita punya, kita bisa memerintah, menyabda kepada orang-orang di sekeliling kita untuk melakukan apa yang kita inginkan dengan embel-embel kepentingan bersama. Kita harus ada di depan layar, harus menjadi artisnya, harus bisa mempengaruhi orang dengan apa yang kita punya. 

Bukankah untuk bermanfaat bukan hanya ketika kita menjadi artis di depan layarnya saja? Meskipun kita menjadi artisnya sekalipun, kita tidak pernah sendiri bukan? Banyak figuran yang mendukung. Banyak invisible hand yang menggerayangi keputusan-keputusan kita bukan? Untuk bermanfaat tidak harus terlihat di depan umum kok, berbuat baik tidak harus diketahui banyak orang. Tidak harus terlihat di dalam layar, coba kita tengok invisible-invisible hand yang ada di balik layar. Tokoh-tokoh baik yang menyokong suksesnya sebuah kepemimpinan tanpa embel-embel apapun. 


3.12.16

Biarkan Warna Itu Tetap Ada


Saya bisa dikatakan polos karena kurang main, kurang belajar, kurang membuka pikiran dan yaaa bisa dikatakan senang di zona nyaman. Saya memang hobi baca buku, meskipun hanya yang sesuai kesukaan, mulai dari biografi, genre melankolis, genre-genre sastrawi, sejenis roman, prosa, puisi, dan lain sebagainya.

Dewasa ini ikut-ikutan panas telinga saya mengetahui banyak perbedaan, banyak asumsi, banyak sudut pandang. Saya yang tidak tahu hanya terkadang mengangguk-angguk, menggeleng-geleng, mengiya-sekata, menolak-selupa, dan lagi-lagi ujung-ujungnya saya tidak paham.

Si A mengatakan B, si B mengatakan D, si B dan C berkata AIUEO, namanya juga saya kurang paham, yang banyak orang mendukung pasti saya iyakan baik, yang kemudian menentang dengan berbagai bukti pun akhirnya ikut-ikutan saya timpali dengan anggukan, bahkan saya ikut-ikutan membumbui, payah sih memang tapi namanya orang belum tahu, "katanya hukumnya tidak apa-apa" kataku membela diri.

Hawa panas itu lama-lama menggelisahkan, apalagi saat saya membaca quotes spesial yang dijadikan foto profil media sosial teman saya, katanya "Cari tau Sumbernya, Jangan Mencerna Gaung". Jangan hanya iya-iya, enggak-enggak, ayo-ayo, jangan-jangan. Usaha sedikit kalo mau cari tahu, jangan gampang menyerap informasi dari sumber-sumber yang hanya tau permukaan, gali darimana ujungnya, darimana arus berasal, jangan hanya ikut-ikutan, parahnya malah jadi bumbu pula. Ah, payah memang kamu Is!

Lambat laun sadarlah saya untuk memperluas sudut pandang, katanya saya memang masih cupu, baru bisa melihat melalui satu sudut pandang, hebat juga ya mereka-mereka yang merasa sudah bisa melihat dengan sudut pandang yang berbeda-beda, Ah! andai saja mereka mau mentransfer ilmu bagaimana cara melihat sudut pandang dengan cara yang berbeda, pasti banyak deh pasti yang berminat mendengarkan.

Akhirnya berangkatlah saya menuntut ilmu ke kota seberang, bukan berarti di solo tidak bisa belajar lho ya. Katanya kan harus melihat dari sudut pandang yang berbeda, maka dari itu saya coba meluaskan sayap dan mengisinya dengan pundi-pundi ilmu. Biar sudut pandang saya bertambah, sesuai keinginan kamu itu lho.

Dalam perjalanan saya kali ini, singkat cerita ada ilmu yang saya patenkan dalam diri saya, bahwa kalau tidak tahu, ya belajar, jangan sampai stagnan di tingkat tidak tahu dan terus menerus salah dengan alih-alih tidak tahu, bodoh namanya. Selagi muda manfaatkanlah waktu sebaik-baiknya. Jangan mencerna gaung, jangan sok tau, belajar, belajar, maknai keberagaman.

Biarkan yang merah tetap menjadi merah, kuning tetap kuning, hijau tetap menjadi hijau, bahkan biarkan yang hitam tetap menjadi hitam. Karena yang terpenting bukanlah persatuan, melainkan kolaborasi yang saling menghidupkan satu sama lain untuk mencapai tujuan yang bermanfaat.

Tidak perlu merasa paling tinggi, tidak perlu merasa paling unggul, hargai yang lain.

Biarkan saja warna-warna itu tetap ada --



1.12.16

Brand Yourself with Your Social Media


Tak ada mendung, gerimis, hujan, atau apapun hari ini.

Hanya ada sedikit kecemasan akan pemutusan listrik serentak yang akan dilakukan pihak PLN.
Semalaman tadi, keluarga Lova dibingungkan dengan surat edaran pemadaman listrik yang akan dilakukan di daerah Jebres (Red: tempat kami tinggal), tidak tanggung-tanggung, dalam surat tersebut diserukan bahwa pemadaman akan berlangsung 6 jam (kabar buruk bagi makhluk-makhluk digital semacam kami, dan kaum-kaum mahasiswa), lantas sejak malam, berbondong-bondonglah kami mengecharge semua power bank yang ada, menghemat-hemat pemakaian baterai handphone, dan memikirkan apa yang akan dilakukan hari ini dengan 6 jam tanpa listrik.

Sedangkan aku, hari ini dijumpakan dengan selebriti ibu kota yang tiba-tiba masuk kampus. Ah, jangan dibayangkan kami norak ya, anak-anak kampusku ternyata tidak terlalu mengidolakan aktris. Terbukti dengan penyangkalan dari hukum-hukum perngefans-an yang tidak terlalu histeris berlaku di kalangan mahasiswa-mahasiswa kampusku. 

Berbicara tentang aktris, ternyata seminar kecantikan dan public speaking adalah penyebabnya. Ah, sebenarnya aku tidak terlalu berminat untuk datang, tapi lagi-lagi berimbas pada pembubuhan nama di presensi. Oh Tuhan, ternyata ketidakadilan juga dilakukan oleh dosen dalam hal pengambilan keputusan sepihak.

Kembali aku diingatkan prinsip, "kamu adalah dirimu sendiri, bukan orang lain". Siapa kamu bukanlah apa yang kamu dapatkan sekarang, melainkan apa yang kamu cita-citakan dan kamu perjuangkan sejak hari ini.

Berbicara tentang branding, kembali saya ditampar pada kenyataan bahwa aku bukan siapa-siapa, dan akan terus tidak menjadi apa-apa kalau saya tidak menjadikan diri sendiri public figur, meskipun untuk diri saya sendiri.

Kalau dipikir-pikir, bukankah benar kalau sehebat apapun kamu, kamu tidak akan pernah mendapatkan apapun kalau kamu tidak hadir dan menampakkan diri, waduh ! malah teringat jodoh, secantik apapun kamu, kalau kamu tidak memperlihatkan dirimu kepada dunia ya akan susah sekali ditemui. Sama seperti ilustrasi bahwa sepintar-pintar apapun kamu, dan tidak ada yang mengetahuinya, kamu tidak akan pernah bermanfaat bagi siapapun.

Siapa kita adalah kita sendiri yang membuatnya. Mau seperti apa pandangan orang terhadap kita pun tergantung bagaimana kita menciptakan brand untuk diri sendiri. 

Aduh! berbicara permasalahan brand, bisa kita ciptakan dengan medium yang sangat-sangat mudah, yakni lewat cermin kita di layar smartphone, bahwa dengan sosial media kita bisa menjadikan brand untuk diri sendiri dengan cara yang paling mudah sekalipun.






30.11.16

Menemui Ujung






Derap langkah bergemeruduk keras, setengah berlari, sepintas memelan
Lantas sayup-sayup, kemudian tak terdengar
Derap langkah kembali muncul
Langkah demi langkah

Kembali aku tertunduk
Sepi menggenang, gemerisik daun bersahut-sahutan
Aku terkesima sejenak

Aku belum menemui ujung, namun kabut di kiri kananku mulai membekukan langkahku
Membatasi pandangan tapal batas di luar sana

Kusampaikan kepada-Nya, kepada mereka, kepadamu, kepada setiap burung yang melintas, kepada serangga-serangga yang sempat menggigit kakiku, dan kepada siapapun, pun kepadanya yang senantiasa kudoakan di setiap waktu

Bahwa aku harus tetap menemui ujung

27.11.16

Semuanya Akan Berjalan Baik

Semuanya akan berjalan baik
Debu jalanan tak akan mengganggu pernapasanmu
Semuanya akan berjalan baik
Ombak yang di lautan sana tidak akan memangkas jantungmu
Semuanya akan berjalan baik-baik saja
Buku-buku yang tak pernah terbaca olehmu
Tidak akan pernah menerkammu
Semuanya akan berjalan baik

Lampu-lampu kota yang berjejeran di sana
Akan terus menerangi langkahmu
Meskipun hati yang telah kamu pilih
Telah menghancurkanmu sehancur mungkin
Semuanya akan baik-baik saja

Aku akan tetap memberimu bunga
Meskipun warnanya telah berubah menjadi kehitaman
Semuanya akan baik
Iya, tentu saja
Semuanya akan berjalan baik

26.8.16

Kolaborasi yang Bermetamorfosa



Malam semakin menampakkan ketenangan
Ketika rembulan semakin beranjak meninggi
Udara malam semakin berembus menusuk tulang
Di kaki gunung lawu


Mataku menyipit kelaparan akan gelap, tubuh mulai limbung menyimpan kerinduan terhadap kasur. Tujuan utamaku kini ialah kamar, tempat berkeluh kesah atas kegiatanku hari ini, tempat mengadu dan tempat memanjakan mata yang tak sabar terpejam.

Serambi merebahkan tubuh, kuraih handphoneku dan kugeser layarnya melihat fitur instagram yang selalu menarik untuk dilihat, tentu saja meskipun mata ini tak kuasa untuk menahan bermanjaan dengan gelap. Tarik ulur gambar-gambar di instagram membuatku menyimpulkan beberapa hal tentang makna kolaborasi. Iya, kata yang sering digaungkan di mana saja untuk mengartikan arti pengorganisasian dan kerja sama.

"Ah, jadi semuanya omong kosong" pikirku sejenak

Aku melihat berbanyak orang menginginkan keadilan, menginginkan kerjasama bahu membahu, tapi ternyata semuanya hanya untuk sekedar kata pencitraan.

Makna kolaborasi jadi ternodai karenanya, apa yang katanya baik belum tentu baik.

Kolaborasi yang seharusnya merangkul menjadi kata yang dikhianati, menjadi kata yang mengecewakan, karena apa yang seharusnya disatukan menjadi sesuatu yang menjadikan segalanya bersekat-sekat.

Kata perjuangan melesat masuk ke semua telinga orang-orang, namun kata kolaborasi menjadi bak angin yang lewat dari kuping kanan ke kuping kiri kemudian lenyap.


"Kolaborasi abal-abal", kataku

Langit tetap gelap di luar jendela, udara tetap dingin, hanya saja aku berharap semangat dan keadilan itu semakin melenyapkan sekat-sekat dan membuat semuanya utuh kembali.

12.8.16

Rumah yang Kini Asing



Waktu menunjukkan pukul tiga sore, aku bergegas menuju rumah yang akhir-akhir ini sering kutinggalkan cukup lama. Aku melempar tasku di ruang tamu, kemudian berlari ke ruang tengah, sepintas warna dinding, penataan hiasan dinding, meja kursi, dan furniture semacam lemari bifet tetap sama seperti semula, tivi juga masih dalam posisi biasanya. Namun, tetap saja ada yang terasa berbeda dan aku masih mencari-cari.

Sesampai di kamar, kulihat di bayanganku  semuanya asing, sampai-sampai aku pun bertanya-tanya yang asing aku-nya atau memang asing tempat ini (red: rumah). Sampai tiba-tiba kudengar suara dari belakang 

"Na, ngapain ke sini?" 

Akupun bingung setengah sadar

 "Apakah ini benar-benar rumahku?"

Kujawab hanya dengan diam, lantas aku mulai berkeliling rumah, mencegah keanehan-keanehan yang terjadi.

" Oh tidak! Rumahku ini ditempati berbanyak orang dan mereka saudaraku (katanya), yang sangat aku cintai dan aku banggakan (padahal aku sama sekali tidak mengenal mereka semua)"

Saking malunya aku keluar kamar sesegera mungkin, sambil melihat sekeliling, pajangan foto-foto itu berubah iramanya, bukan lagi dihiasi warna-warna pastel kesukaanku, melainkan dengan figura-figura berisikan foto-foto mereka yang (katanya saudaraku) aku cintai dan aku banggakan.

Kusaut lagi tasku di ruang tamu serambi berlari ke luar rumah, kutengok lagi pintu yang baru saja berderik, kubaca pelan-pelan bertuliskan "Rumah Kita". Aku makin bingung, kita siapa yang dimaksud? 

Kucubit pipiku sekali lagi dan ternyata benar, rumah itu tetap saja rumahku. Rumah yang kini asing dan tak lagi cukup nyaman untuk tertawa.

18.7.16

Lalu lalang dan Nikmat Pagi

       
           Pagi ini seperti pagi biasanya, libur kuliah saya isi dengan membantu orangtua di rumah. Bukan sesuatu yang berlebihan, saya hanya membantu beberapa tetek bengek urusan rumah tangga ditambah sebagai tukang ojek pribadi bagi adik-adik saya yang berangkat ke sekolah.
      Pagi ini, saya sengaja memperlambat pacuan saya dalam berkendara motor, alasannya, sore nanti saya akan kembali ke kota perantauan saya meski hanya sebentar. Alur jalan yang berliku-liku membuat saya benar-benar ingin menikmati pagi ini, dengan hamparan sengkedan sawah yang luas di kanan-kiri jalan. Pun juga senyum gagah merbabu, merapi dari kejauhan yang tampak perkasa dan membuat raga ini semakin bersemangat.
          Sesampai di tempat yang cukup ramai (red: pasar) saya disibukkan dengan fokus di jalanan penuh lalu lalang kendaraan bermotor. Menyeberang dengan jalan seperti semut merayap tempat aktivitas setiap orang akan dimulai. Banyak sekali yang mulai berdatangan meramaikan jalanan, ada tukang parkir, pak polisi, penjual di pasar, tukang bubur kacang ijo, tukang sayur, tukang ojek, penjaga ruko-ruko, hansip, pengantar anak-anak ke sekolah, juga para PNS, guru-guru, dan sebagainya.
          Lalu lalang, seperti ini gambaran kota-kota besar seperti yang sering saya lihat di tivi-tivi. Ramai, sumpek, egoisme, individualis. Ah, lancang memang, tentu saya desaku ini bukanlah kota seperti yang di tivi-tivi itu, hanya sebuah kecamatan kecil di perbatasan kota-kota kecil yang mungkin di google map pun tak dapat diketemukan. Sedikit miris memang, tapi syukur memang tak bisa dibeli dengan apapun. Saya sangat bersyukur bisa tinggal di daerah sini. Daerah semi modern tanggung kalau saya bilang.
          Seperti sekarang ini, nikmat pagi yang dirasakan oleh siapapun. Seloroh di depan saya, di antara lalu lalang berseda motor, ada beraneka ragam hal yang luar biasa unik. Seorang pemulung tua berjalan membawa setumpuk kardus bekas tinggi-tinggi di sepedanya yang telah usang, tak dinaiki memang karena jalanan sedang menanjak. Tak jauh dari sana, kulihat ibu tua berjalan menunduk, di pundaknya membumbung tinggi plastik-plastik bekas luar biasa banyak. Sepagi ini, dan sebanyak itu, pekerja pabrik plastik yang luar biasa tangguh.
           Aduh, sedikit miris, diantara lalu lalang mengegas pedal gas sekencang-kencangnya dengan mesin sepeda motor saya ini, masih ada orang-orang yang berjalan tertatih kesusahan di luar sana. Entah, sejak pukul berapa bapak tua tadi mengais kardus-kardus bekas dari pasar. Entah sejak pukul berapa pula, ibuk itu bekerja di pabrik plastik itu. Namun, yang kulihat bapak tadi begitu bersemangat, sama seperti ibu pekerja pabrik plastik tadi, begitu bersyukur mendapat rezeki di pagi yang cukup cerah hari ini. Saya, mereka, dan orang-orang yang berlalu lalang, kita sama-sama merasakan nikmat pagi :)

14.2.16

Bukalah Mata, Jangan Kau Tutup dengan Jemarimu..


Saya berjalan diantara bebatuan, bebatuan terjal yang seringkali menghadang jalan serta angin yang berembus kalang kabut tak karuan. Kawin-mawin tubruk menubruk membentuk rasa gundah dan gelisah luar biasa. Pikiranku kalang kabut, tak pernah aku lupa tentang bagaimana jalan yang harus aku tempuh. Aku telah mencoba sebisaku, kutanyakan pada rerumputan di kiri kanan jalanku. Tapi harus akui bahwa semuanya tidaklah semudah yang aku kira, jalan yang kutempuh memang susah bukan main, berbelit-belit, tapi bukankah perjuangan harus tetap diteruskan? Kalau saja aku berdiri siang ini dan saya katakan semuanya akan baik-baik saja, ilmu-ilmu yang aku dapatkan hanya akan sampai pada tahap non-istimewa dan akan stagnan di tempat.