;

17.7.19

Menggenggam Paspor


Penyesalan memang datang di akhir, kalau di awal namanya pendaftaran.

Ungkapan itu benar adanya, sering kita temui dalam kehidupan kita sehari-hari.
Hal-hal yang banyak sekali kita kaitkan dengan ribuan bahkan jutaan alasan.

Sudah sejak lama, ajakan, perintah, anjuran, dan keharusan untuk mencari passpor ditujukan untukku.
Tapi tetap saja, begitu berat untuk sekedar menyiapkan persyaratan dan datang menuju kantor imigrasi.

Dampaknya luas, amat sangat luas. Kebetulan aku merupakan salah satu penerima beasiswa asrama sejak tahun 2016, youthproject scholarship namanya. Hingga tahun 2019, berarti hampir 3 tahun lamanya, mimpiku untuk ke luar negeri hanya terhenti pada angan dan tulisan di secarik kertas.

Kala itu, aku beralasan, ada banyak amanah yang tidak bisa ditinggalkan ke luar negeri, ada banyak tugas kuliah yang harus aku kerjakan, ada banyak hal yang kujadikan alasan untuk menahanku membuat paspor.

Paspor adalah jendela dunia, salah satu benda ajaib yang bisa menghantarkan kita pergi kemanapun.
Yang menjadi syarat utama kita untuk pergi ke luar negeri, Jika paspor ini belum ada di dalam genggaman, tentunya kita belum memegang kunci untuk membuka satu pintu pun dari sekian pintu-pintu yang ada di dunia ini.

Diantara anak-anak beasiswa yang lain di angkatan pertama, hanya aku yang belum menginjakkan kaki ke luar negeri, sebut saja di antaranya, Mbak Hasna Jamilah, sudah pernah magang di Myanmar dan ke Thailand serta Jepang di tahun setelahnya. Mbak Imaf, sudah dua kali ke Jepang, dan tahun ini akan ke Amerika Serikat, dan Uly sempat ke Malaysia dan tahun ini berkompetisi di sebuah pameran di Korea Selatan.

Mimpi indah harus disertai dengan aksi, bukan?

Yang kuyakini, Allah memang senantiasa memiliki rencana terbaik, tetapi rencana indah itu tidak akan hadir tanpa manusia yang mengusahakannya.

Di tahun 2019 ini, Allah memberiku kesempatan, mendaftar kegiatan di Malaysia dan diterima,, bahkan sekaligus akan ke Singapura. Barulah di tahun ini aku baru merealisasikan dan paspor ada dalam genggaman.

Namun, aku menyadari sesuatu, tentang mengubah sudut pandang dan konsep.

Kalau dulu, aku merasa mengusahakan diterima di kegiatan di luar negeri terlebih dahulu akan lebih baik daripada membuat paspor, kini kurasa keputusan itu salah. Harusnya, memang mengusahakan membeli tiket terlebih dahulu, baru memutuskan akan pergi kemana.

Ibarat naik naik bis trans jakarta, kita tak akan pernah bisa menaikinya tanpa memiliki kartu elektronik, atau minimal membayar per tap dari petugas yang berjaga di halte. Kita harus masuk dulu ke halte, baru kemudian berkeliling Jakarta.

Menyegerakan memang lebih baik daripada menunggu waktu.

Selamat berpikir untuk segera ke imigrasi, pembaca!
Semoga lekas keliling dunia!

0 comments:

Post a Comment