;

31.1.23

Bagaimana Jika Bagaimana? Part 3

 

PART 3 : Mereka yang Hilang

Malam itu, Arum sulit sekali untuk tidur. Rasa sesak dan kecewa pada dirinya benar-benar membuncah selepas berpelukan dengan ibunya. Ia benar-benar merasa menjadi anak yang tak berguna, menjadi kakak yang tak berhasil membantu adik-adiknya. Di dipan kamarnya, ia termenung, pikirannya menerawang kemana-mana.

Diraihnya ponsel di ujung kasur dan ia membuka sosial media Instagram yang dimilikinya. Berniat mencari inspirasi yang membantunya keluar dari masa-masa sulit, pilihannya membuka sosial media justru membuat pikirannya semakin kusut. Pada linimasa gawainya, tampak huru hara bahagia teman-temannya yang telah sukses berkarir. Dipandanginya dengan sayu, ada yang asik bekerja sebagai PNS, ada yang sibuk memposting pekerjaan sebagai dokter dengan jas putih nan menawan, ada yang bekerja dengan berplesiran keliling Indonesia, ada yang melanjutkan kuliah di luar negeri, ada juga yang membagikan momen pertunangan, pernikahan, ada juga yang sedang liburan dengan suami dan juga anaknya yang manis. Selain itu, masih ada banyak sekali kisah-kisah sukses teman-temannya yang hanya bisa Ia pandangi lewat layar semata.

Guliran tangan Arum berhenti pada sebuah foto, seorang perempuan berfoto dengan keempat teman lainnya, menggunakan baju yang sama dengan riasan menawan berlatar belakang gedung pencakar langit. Perempuan itu adalah Allisa, sahabatnya semasa SMA yang dulunya kemanapun selalu bersamanya, masa-masa SMA yang indah dengan sahabat yang teramat setia. Setiap ada Arum disitu pasti ada Allisa, begitu kata teman-temannya pada saat itu, termasuk guru-gurunya. Persahabatan mereka masih terjalin dengan manis semasa kuliah, meskipun berbeda kampus, namun tetap berada dalam satu kota dan mereka masih sering bersama. Namun, dua tahun belakangan, Ia bak hilang ditelan bumi. Hidup sukses di ibukota membuatnya lupa untuk menyapa sahabatnya yang sedang kesusahan, bahkan pesan demi pesan yang dikirim Arum pun hampir tak pernah terbaca olehnya.

Sebenarnya tak hanya Allisa, ketika di kampus pun, Ia memiliki sahabat-sahabat yang sering menghabiskan waktu bersamanya. Sahabat-sahabat dengan jurusan yang sama dengannya, maupun sahabat di UKM Mapala yang diikutinya. Tapi rasa-rasanya, kini mereka habis tak bersisa. Hilang di telan kesibukan kehidupan yang baru.

Pikiran-pikiran rendah diri merasuki Arum seketika, membayangkan betapa gagalnya dia selama ini, membayangkan sakitnya ditinggal sahabat-sahabat yang dulunya begitu dekat, pikiran itu berkecamuk dalam dirinya, kemudian lekas-lekas Ia menutup ponselnya, dan menarik nafas panjang.

“Sia-sia,” ujarnya.

Tak ada lagi yang bisa diharapkannya dari pertolongan manusia, Ia sangat percaya TuhanNya tak akan meninggalkannya.

Bersambung….

 

 

 


30.1.23

Bagaimana Jika Bagaimana? Part 2

 

Pilihan yang Berbeda

Hari masih pagi, cahaya mentari perlahan masuk melalui celah-celah jendela kamar Arum yang terbuat dari kayu-kayu yang disusun renggang-renggang. Sajadah tempatnya menunaikan shalat subuh tadi sudah kembali tersusun rapi pada rak kayu di sudut ruangan. Ia tampak termenung cukup lama, lantas keluar kamar. Dilihatnya, sang Ibu menatap sebuah foto di ruang tengah dengan kemoceng di tangan kanannya.

“Ngelihat foto apa bu? serius amat?” tanya Arum sambil mendekat ke arah ibunya.

“Ini lihat foto kamu, sama bapak ibuk, ini pas wisuda SMA kan ya? Seneng banget ya kelihatannya saat itu di foto, kamu ya cantik banget, ibuk ya cantik, bapak yaaa enggak sekurus sekarang lah,” ujar Ibu Arum tiba-tiba sambil tertawa kecil.

“Iya buk,” jawab Arum lirih.

Ingatan Arum kembali pada masa-masa putih abu-abunya. Masa dimana hari-harinya dihabiskan di sekolah, ikut lomba-lomba business plan, dan hari senin yang menyenangkan karena namanya akan sering dipanggil ke depan untuk mendapatkan hadiah lomba-lomba yang ia ikuti. Saat itu adalah saat yang paling Ia tunggu, Ia akan dengan mudah melihat senyum manis Ardian, laki-laki yang disukainya ke arahnya dari depan barisan.

“Inget nggak kamu Rum? Saat itu kamu Juara 2 paralel IPS di sekolah. Saking bapak bangganya sama kamu, tanah bapak yang di dekat lapangan itu gak lama dijual buat membiayai kamu kuliah, biar kamu semangat kuliah.” lanjut Ibu Arum.

Arum terdiam, bulir-bulir air mulai tampak mengambang di ujung matanya.

“Ah, andai dulu kamu mau dengerin Ibu, kuliah pendidikan, jadi guru, jadi PNS, pasti saat ini Ibu udah lega ada yang bantuin adik-adikmu,…” Ibu Arum tak melanjutkan kalimatnya.

Arum tertunduk lesu, kali ini ingatannya membawanya pada masa-masa ia ngotot tak mau mengambil jurusan pendidikan yang diinginkan ibunya. Hingga akhirnya, ibunya merelakan Ia mengambil jurusan kuliah yang diinginkannya, jurusan manajemen. Selama kuliah, Ia tak lagi menjadi sosok berprestasi, Ia menembus batas dirinya dengan ikut Mapala Fakultas. Hobinya yang dulu sering ikut lomba, berubah drastis menjadi menakhlukkan gunung.

“Kali ini Ibu benar-benar bingung Rum, adikmu itu pengen banget kuliah tapi sekarang udah gak ada lagi aset kita yang bisa dijual kaya dulu,”

Kali ini, air mata Arum benar-benar jatuh. Ia mendekap ibunya kuat.

“Maafin Arum ya Bu, belum bisa jadi anak kebanggaan ibu.”

Dari jendela samping rumah yang berteralis kayu, sang ayah menyaksikan pemandangan istri dan anak perempuan pertamanya itu berpelukan. Mata lelaki paruh baya itu tampak sayu.

Bagaimana jika Damar, anak laki-lakinya itu akhirnya tak bisa kuliah seperti kakaknya dulu?

 

Bersambung....

29.1.23

Bagaimana Jika Bagaimana? Part 1

 



Part 1. Jiwa-jiwa yang Rapuh

20 Desember 2022

Perempuan itu memandangi wajahnya di kaca kecil yang selalu Ia bawa kemana-mana. Kebiasaan itu memang sudah sejak kecil ia lakukan. Baginya, memandangi wajah adalah salah satu cara untuk memberinya ketenangan. Ia percaya, wajahnya yang demikian detail dilukis Tuhan adalah wujud kasihNya yang teramat nyata. Ia percaya, sekuat apapun badai di depan mataNya, ada tangan Tuhan yang akan selalu memberinya pertolongan. Setelah puas memandangi wajahnya, Ia meletakkan kaca kecil bergambar pemandangan alam itu di meja, lantas disapunya wajahnya menggunakan tangan kiri dan wajahnya tertunduk ke bawah. Ia tampak pening, belasan, bahkan puluhan email lamaran pekerjaan sudah Ia kirimkan sejak Ia memutuskan untuk resign di pekerjaan sebelumnya September lalu, namun tak ada jawaban hingga kini. Ia sangat yakin, Tuhan menyayanginya, namun kali itu, Ia benar-benar merasa rapuh.

Ia adalah Arum, perempuan berwajah teduh dengan kacamata yang menghiasi wajahnya. Usianya 26 tahun. Semenjak lulus kuliah tahun 2020 lalu, Ia bekerja di sebuah pabrik percetakan di bagian administrasi. Bekerja di percetakan bukanlah keinginannya, apalagi tak sesuai dengan jurusan yang Ia ambli saat kuliah namun saat pandemi tak banyak perusahaan yang membuka lowongan pekerjaan, apalagi pada masa itu, begitu sulit untuk bepergian jauh ke luar kota. Kala itu, Ia sangat bersyukur bisa mendapatkan pekerjaan yang cukup dekat dengan rumah, berjarak 10 KM dari rumahnya di Bumiayu, Brebes. Namun, sejak pertengahan September, Ia memutuskan resign, banyak sekali kecurangan yang terpaksa Ia lakukan karena perintah atasan. Sudah lama Ia ingin berhenti dari pekerjaan itu, namun selalu Ia urungkan. Akhirnya kali ini, Ia benar-benar angkat tangan. Sudah hampir 2 bulan Ia menganggur. Saat ini sembari terus menerus mengirim lamaran pekerjaan, Ia membuka pre-order makanan seperti Cilok, Seblak, Bakso Aci, namun tentu saja penghasilannya tidak seberapa.

“Rum makan dulu ! Udah pada kumpul di meja makan,” panggil Ibu Arum dari luar pintu kamar.

“Iya Bu, sebentar,” Arum bergegas ke luar kamar.

Seluruh anggota keluarga Arum tampak sudah berkumpul melingkar di depan televisi dengan beralaskan tikar, lengkap dengan hidangan yang sudah tersaji di depan mereka, nasi goreng dengan topping telur dadar yang diiris tipis-tipis dan kerupuk warna oranye. Tampak sang bapak, pria paruh baya bertubuh kurus dengan kulit gelap mengkilat karena sering terpapar matahari, perempuan paruh baya dengan tubuh berisi yang merupakan Ibu Arum, dan ketiga adik Arum, Damar (17 tahun), Farhan (13 tahun) dan Cika (7) tahun.

“Pak, Bu, tadi Bu Sekar di sekolah bilang, Damar bisa daftar ke universitas lewat jalur prestasi, tapi Damar bingung, takut ga lolos KIP kuliah, apa Damar gausah daftar kuliah aja ya Pak, Bu?” Damar membuka obrolan.

Damar tahu, orangtuanya menginginkannya untuk lanjut kuliah, tapi Ia sadar, ekonomi keluarganya sedang sangat sulit. Penghasilan bapaknya sebagai driver ojek online sedang sepi dengan gaji tak menentu, sedangkan Ibunya hanya buka warung kecil-kecilan di rumah.

“Daftar sik wae yo le, masalah biaya nanti kita bapak usahakan,” jawab sang bapak.

“Apa nggak mending Damar cari kerja aja to Pak, biar Damar bisa bantu Bapak sama Ibu, toh kuliah juga engga menjamin kita dapet kerjaan.” Ujar Damar.

Elegie menghentikan makannya, kata-kata adiknya bak tamparan keras untuknya. Pikirannya melalang jauh. Rasanya, Ia ingin lenyap dari ruangan itu saat ini juga.

Bersambung….