PART 3 : Mereka yang Hilang
Malam itu, Arum sulit sekali untuk tidur. Rasa sesak dan
kecewa pada dirinya benar-benar membuncah selepas berpelukan dengan ibunya. Ia
benar-benar merasa menjadi anak yang tak berguna, menjadi kakak yang tak berhasil
membantu adik-adiknya. Di dipan kamarnya, ia termenung, pikirannya menerawang
kemana-mana.
Diraihnya ponsel di ujung kasur dan ia membuka sosial media Instagram
yang dimilikinya. Berniat mencari inspirasi yang membantunya keluar dari
masa-masa sulit, pilihannya membuka sosial media justru membuat pikirannya
semakin kusut. Pada linimasa gawainya, tampak huru hara bahagia teman-temannya
yang telah sukses berkarir. Dipandanginya dengan sayu, ada yang asik bekerja
sebagai PNS, ada yang sibuk memposting pekerjaan sebagai dokter dengan jas
putih nan menawan, ada yang bekerja dengan berplesiran keliling Indonesia, ada
yang melanjutkan kuliah di luar negeri, ada juga yang membagikan momen
pertunangan, pernikahan, ada juga yang sedang liburan dengan suami dan juga
anaknya yang manis. Selain itu,
masih ada banyak sekali kisah-kisah sukses teman-temannya yang hanya bisa Ia
pandangi lewat layar semata.
Guliran tangan Arum berhenti pada sebuah foto, seorang perempuan
berfoto dengan keempat teman lainnya, menggunakan baju yang sama dengan riasan
menawan berlatar belakang gedung pencakar langit. Perempuan itu adalah Allisa,
sahabatnya semasa SMA yang dulunya kemanapun selalu bersamanya, masa-masa SMA
yang indah dengan sahabat yang teramat setia. Setiap ada Arum disitu pasti ada
Allisa, begitu kata teman-temannya pada saat itu, termasuk guru-gurunya.
Persahabatan mereka masih terjalin dengan manis semasa kuliah, meskipun berbeda
kampus, namun tetap berada dalam satu kota dan mereka masih sering bersama.
Namun, dua tahun belakangan, Ia bak hilang ditelan bumi. Hidup sukses di
ibukota membuatnya lupa untuk menyapa sahabatnya yang sedang kesusahan, bahkan
pesan demi pesan yang dikirim Arum pun hampir tak pernah terbaca olehnya.
Sebenarnya tak hanya Allisa, ketika di kampus pun, Ia
memiliki sahabat-sahabat yang sering menghabiskan waktu bersamanya.
Sahabat-sahabat dengan jurusan yang sama dengannya, maupun sahabat di UKM
Mapala yang diikutinya. Tapi rasa-rasanya, kini mereka habis tak bersisa.
Hilang di telan kesibukan kehidupan yang baru.
Pikiran-pikiran rendah diri merasuki Arum seketika, membayangkan
betapa gagalnya dia selama ini, membayangkan sakitnya ditinggal sahabat-sahabat
yang dulunya begitu dekat, pikiran itu berkecamuk dalam dirinya, kemudian lekas-lekas
Ia menutup ponselnya, dan menarik nafas panjang.
“Sia-sia,” ujarnya.
Tak ada lagi yang bisa diharapkannya dari pertolongan
manusia, Ia sangat percaya TuhanNya tak akan meninggalkannya.
Bersambung….