Part 1. Jiwa-jiwa yang Rapuh
20 Desember 2022
Perempuan itu memandangi wajahnya di kaca kecil yang selalu Ia
bawa kemana-mana. Kebiasaan itu memang sudah sejak kecil ia lakukan. Baginya, memandangi
wajah adalah salah satu cara untuk memberinya ketenangan. Ia percaya, wajahnya yang
demikian detail dilukis Tuhan adalah wujud kasihNya yang teramat nyata. Ia
percaya, sekuat apapun badai di depan mataNya, ada tangan Tuhan yang akan
selalu memberinya pertolongan. Setelah puas memandangi wajahnya, Ia meletakkan
kaca kecil bergambar pemandangan alam itu di meja, lantas disapunya wajahnya menggunakan
tangan kiri dan wajahnya tertunduk ke bawah. Ia tampak pening, belasan, bahkan
puluhan email lamaran pekerjaan sudah Ia kirimkan sejak Ia memutuskan untuk resign
di pekerjaan sebelumnya September lalu, namun tak ada jawaban hingga kini. Ia sangat yakin,
Tuhan menyayanginya, namun kali itu, Ia benar-benar merasa rapuh.
Ia adalah Arum, perempuan berwajah teduh dengan kacamata
yang menghiasi wajahnya. Usianya 26 tahun. Semenjak lulus kuliah tahun 2020 lalu,
Ia bekerja di sebuah pabrik percetakan di bagian administrasi. Bekerja di
percetakan bukanlah keinginannya, apalagi tak sesuai dengan jurusan yang Ia ambli saat kuliah namun saat pandemi tak banyak perusahaan yang
membuka lowongan pekerjaan, apalagi pada masa itu, begitu sulit untuk bepergian
jauh ke luar kota. Kala itu, Ia sangat bersyukur bisa mendapatkan pekerjaan
yang cukup dekat dengan rumah, berjarak 10 KM dari rumahnya di Bumiayu, Brebes. Namun, sejak pertengahan September, Ia memutuskan resign, banyak sekali kecurangan yang terpaksa Ia lakukan karena perintah atasan. Sudah lama Ia ingin berhenti dari pekerjaan itu, namun selalu Ia urungkan. Akhirnya kali ini, Ia benar-benar angkat tangan. Sudah hampir 2 bulan Ia menganggur. Saat ini sembari terus menerus mengirim lamaran pekerjaan, Ia membuka pre-order makanan seperti Cilok, Seblak, Bakso Aci, namun tentu saja penghasilannya tidak seberapa.
“Rum makan dulu ! Udah pada kumpul di meja makan,” panggil
Ibu Arum dari luar pintu kamar.
“Iya Bu, sebentar,” Arum bergegas ke luar kamar.
Seluruh anggota keluarga Arum tampak sudah berkumpul melingkar
di depan televisi dengan beralaskan
tikar, lengkap dengan hidangan yang sudah tersaji di depan mereka, nasi goreng
dengan topping telur dadar yang diiris tipis-tipis dan kerupuk warna oranye. Tampak
sang bapak, pria paruh baya bertubuh kurus dengan kulit gelap mengkilat karena
sering terpapar matahari, perempuan paruh baya dengan tubuh berisi yang
merupakan Ibu Arum, dan ketiga adik Arum, Damar (17 tahun), Farhan (13
tahun) dan Cika (7) tahun.
“Pak, Bu, tadi Bu Sekar di sekolah bilang, Damar bisa daftar
ke universitas lewat jalur prestasi, tapi Damar bingung, takut ga lolos KIP
kuliah, apa Damar gausah daftar kuliah aja ya Pak, Bu?” Damar membuka obrolan.
Damar tahu, orangtuanya menginginkannya untuk lanjut kuliah,
tapi Ia sadar, ekonomi keluarganya sedang sangat sulit. Penghasilan bapaknya
sebagai driver ojek online sedang sepi dengan gaji tak menentu, sedangkan
Ibunya hanya buka warung kecil-kecilan di rumah.
“Daftar sik wae yo le, masalah biaya nanti kita bapak
usahakan,” jawab sang bapak.
“Apa nggak mending Damar cari kerja aja to Pak, biar Damar
bisa bantu Bapak sama Ibu, toh kuliah juga engga menjamin kita dapet kerjaan.” Ujar
Damar.
Elegie menghentikan makannya, kata-kata adiknya bak tamparan keras untuknya. Pikirannya melalang jauh. Rasanya, Ia ingin lenyap dari ruangan itu saat ini juga.
Bersambung….
0 comments:
Post a Comment