Pilihan yang Berbeda
Hari masih pagi, cahaya mentari perlahan masuk melalui
celah-celah jendela kamar Arum yang terbuat dari kayu-kayu yang disusun renggang-renggang.
Sajadah tempatnya menunaikan shalat subuh tadi sudah kembali tersusun rapi pada
rak kayu di sudut ruangan. Ia tampak termenung cukup lama, lantas keluar kamar.
Dilihatnya, sang Ibu menatap sebuah foto di ruang tengah dengan kemoceng di
tangan kanannya.
“Ngelihat foto apa bu? serius amat?” tanya Arum sambil
mendekat ke arah ibunya.
“Ini lihat foto kamu, sama bapak ibuk, ini pas wisuda SMA
kan ya? Seneng banget ya kelihatannya saat itu di foto, kamu ya cantik banget,
ibuk ya cantik, bapak yaaa enggak sekurus sekarang lah,” ujar Ibu Arum tiba-tiba
sambil tertawa kecil.
“Iya buk,” jawab Arum lirih.
Ingatan Arum kembali pada masa-masa putih abu-abunya. Masa
dimana hari-harinya dihabiskan di sekolah, ikut lomba-lomba business plan, dan hari
senin yang menyenangkan karena namanya akan sering dipanggil ke depan untuk
mendapatkan hadiah lomba-lomba yang ia ikuti. Saat itu adalah saat yang paling
Ia tunggu, Ia akan dengan mudah melihat senyum manis Ardian, laki-laki yang disukainya
ke arahnya dari depan barisan.
“Inget nggak kamu Rum? Saat itu kamu Juara 2 paralel IPS di
sekolah. Saking bapak bangganya sama kamu, tanah bapak yang di dekat lapangan
itu gak lama dijual buat membiayai kamu kuliah, biar kamu semangat kuliah.”
lanjut Ibu Arum.
Arum terdiam, bulir-bulir air mulai tampak mengambang di
ujung matanya.
“Ah, andai dulu kamu mau dengerin Ibu, kuliah pendidikan,
jadi guru, jadi PNS, pasti saat ini Ibu udah lega ada yang bantuin adik-adikmu,…”
Ibu Arum tak melanjutkan kalimatnya.
Arum tertunduk lesu, kali ini ingatannya membawanya pada masa-masa
ia ngotot tak mau mengambil jurusan pendidikan yang diinginkan ibunya. Hingga
akhirnya, ibunya merelakan Ia mengambil jurusan kuliah yang diinginkannya,
jurusan manajemen. Selama kuliah, Ia tak lagi menjadi sosok berprestasi, Ia
menembus batas dirinya dengan ikut Mapala Fakultas. Hobinya yang dulu sering
ikut lomba, berubah drastis menjadi menakhlukkan gunung.
“Kali ini Ibu benar-benar bingung Rum, adikmu itu pengen
banget kuliah tapi sekarang udah gak ada lagi aset kita yang bisa dijual kaya
dulu,”
Kali ini, air mata Arum benar-benar jatuh. Ia mendekap
ibunya kuat.
“Maafin Arum ya Bu, belum bisa jadi anak kebanggaan ibu.”
Dari jendela samping rumah yang berteralis kayu, sang ayah menyaksikan
pemandangan istri dan anak perempuan pertamanya itu berpelukan. Mata lelaki
paruh baya itu tampak sayu.
Bagaimana jika Damar, anak laki-lakinya itu akhirnya tak
bisa kuliah seperti kakaknya dulu?
0 comments:
Post a Comment