;

2.2.23

Bagaimana Jika Bagaimana? Part 5

 



Tumbuhnya Harapan

Selepas bertemu dengan Gina, Arum banyak menghabiskan waktunya di kamar. Bukan untuk merenungi nasib yang tak memihakknya. Justru untuk merefleksi diri dan mengenali diri jauh lebih dalam lagi. Apa hal-hal yang disukainya, apa hal yang disukai banyak orang, dan apa yang kemungkinan bisa menjadi usaha yang bermanfaat untuk banyak orang atas hal-hal yang Ia senangi. Betapa waktu yang ia lalui selama ini benar-benar sia-sia karena tak berisi harapan namun kepasrahan. Ia kembali menggenggam percaya diri yang selama ini hilang entah kemana..

Di ruang tamu rumahnya, Arum menemui ayahnya yang sedang menonton siaran bola kesayangannya. Arum ikut menonton hingga selesai, hingga akhirnya Ia beranikan diri untuk berbicara dengan ayahnya.

“Pak, Arum ingin mengembalikan masa-masa kejayaan Arum dulu, Arum pengen buka usaha Pak! Arum kan sedikit-sedikit belajar pola-pola menjahit, dan Arum juga suka gambar-gambar desain baju kayak gini Pak.” Ujar Arum sambil memperlihatkan desain-desain gamis yang sering dibuatnya

“Waah, masyaAllah, seneng bapak lihatnya kamu udah bisa senyum-senyum begini, bapak perhatikan kok akhir-akhir ini cemberut aja. InsyaAllah bapak dukung, tapi modalnya nanti darimana Rum?”

“Emm, Arum sih pengennya ga pinjem-pinjem duit gitu Pak, tapi kalo ada ya gapapa, hehehe” ujar Arum bercanda

“Arum mau izin bapak, mau jual si Viki, motor Arum itu untuk modal usaha, nanti Arum kalau kemana-mana pinjem motor Bapak dulu.”

“Beneran, Viki mau dijual? Udah dipikir-pikir dulu?”
“Beneeeer Pak, nanti deh Arum bikin selametan buat perpisahan sama Viki.” Kata Arum bercanda lagi.

“Terus, rencanamu gimana ini usahamu kok udah pede banget kayaknya,” tanya ayah Arum

“Jadi begini Pak,……” Arum menceritakan rencana-rencana usaha konveksi kecil-kecilan yang akan dirintisnya

“Momentum Pak, sebentar lagi Ramadhan, Arum harus segera bergerak. Siapa tahu jalan kesuksesan Arum dari sini.” ujar Arum percaya diri.

Sejak saat itu, Arum memulai hidup barunya dengan memulai usaha pakaian wanita. Ia berkomitmen menciptkan pakaian berkualitas dengan harga super terjangkau. Ia mencari kain dari produsen kain sehingga mendapatkan harga minimum, serta mencari penjahit dengan kualitas tinggi dan harga yang terjangkau. Meski usahanya masih merangkak, namun perlahan, Arum mulai mendapatkan “The perks being an entrepreneur” versi dia.

Ia percaya setiap hal perlu diperjuangkan

Tak perlu merasa paling lemah dengan menyalahkan takdir

Setiap orang memiliki kehidupan yang berbeda

Ujian yang berbeda, serta kenikmatan yang berbeda

Karena hidup yang kita menangkan, adalah hidup yang kita perjuangkan.

TAMAT

Bagaimana Jika Bagaimana Part 4

 

                                                    

Sawang Sinawang

Di meja kamarnya, Arum mengotak-atik laptop jadul miliknya. Dibilang jadul, karena memang, sudah sejak Ia SMA – 7 tahun yang lalu laptop itu membersamainya. Ia menekan tombol refresh di kotak masuk emailnya, berharap ada pesan yang masuk dari tempat-tempat pekerjaan yang sebelumnya ia lamar. Begitu terus, namun hasilnya tetep nihil.

“Rum, anterin ibu ke pasar yuk!” suara Ibu Arum mengagetkan perempuan yang sedang termenung itu.

Arum berganti pakaian dan bergegas keluar kamar. Kemudian ia menyalakan motor vario hitam keluaran lama yang Ia beli second saat Ia bekerja dulu.

Ia mengantar ibunya ke pasar yang cukup jauh dari rumahnya, entahlah, meskipun ada pasar yang jaraknya jauh lebih dekat, Ibu Arum memang selalu berbelanja ke pasar itu, lebih lengkap dan murah katanya. Pasar itu Bernama Pasar Sidodadi, berjarak hampir 10km dari rumahnya.

Sesampainya di pasar, tak lama kemudian ada seorang perempuan yang memanggil dirinya. Perempuan cantik bertubuh gempal dengan seorang anak kecil menggemaskan menggamit tangannya. Ia kenal betul perempuan itu, salah satu teman karibnya saat sekolah dulu.

“Arum! MasyaAllah, bertahun-tahun gak ketemu, ketemunya justru di pasar,” kata perempuan itu.

Ibu Arum memberi isyarat pada Arum untuk menemui temannya lantas berlalu pergi.

“Gina! Ini anakmu Gin? Kok nikah ga kabar-kabar?” sergah Arum

“Iya, gaenak aku, dulu kan nikah pas covid, lagian aku langsung ikut suamiku ke Batam, ya sekarang ini lagi liburan, kangen sama rumah.” Jawab Gina

“Oalah iya gapapa Gin, kita kesana aja yuk! Biar ngobrolnya enak,” ujar Arum sambil menunjuk warung bakso di ujung barat pasar.

Mereka kini saling nostalgia dengan masa-masa sekolah mereka. Kisah masa lalu yang tak mungkin terulang kembali.

“Beruntung banget ya kamu Gin! Punya suami sukses, punya anak yang lucu,” ujar Arum tiba-tiba

“Lha kamu ini gimana kabarnya Rum? Kok jam segini bisa ke pasar? Apa ga sibuk kerja?”

“Ya itulah Gin, susah banget cari kerjaan, di saat banyak orang seumuran kita udah berhasil dan mapan aku masih numpang dengan orangtua.”

“Eh, kamu kan dulu suka banget ikutan lomba bisnis Rum, kenapa ga mulai usaha aja?”

“Emm, ga pede aku Gin, gaada modal juga, kalo mau pinjem modal usaha, gimana nanti kalo gagal?”

“Rum, aku yang sekarang jadi Ibu Rumah Tangga juga ga seenak yang terlihat kok! Bosen di rumah terus, tapi ya aku menerima dan mensyukurinya, peranku saat ini ya ini. Kalo kamu, mumpung masih banyak kesempatan berbakti, masih single, beraniin aja coba segala kemungkinan, jangan menyerah dengan keadaan Rum. Kamu pasti bisa jadi orang sukses!”

Pertemuan dengan Gina membuat Arum percaya diri dengan kemampuannya. Jika kesulitan mencari kerja mematikan mimpinya, bukankah Ia seharusnya bisa menciptakan mimpi yang baru dengan membuka usaha?