;

6.11.23

Greenprosa : Oase Segar Permasalahan Sampah di Indonesia

 


“Beri Aku sepuluh orangtua maka akan kucabut semeru dari akarnya, beri Aku sepuluh pemuda, maka akan kuguncangkan dunia” – Soekarno


Arky Gilang Wahab menunjukkan larva BSF/Maggot budidaya Greenposa (Source: Mongabay)

Ungkapan tersebut terdengar klise di telinga, namun sangat relevan sebagai cambuk semangat pemuda untuk berkontribusi pada permasalahan-permasalahan di negeri ini. Istilah “Pemuda yang Mengguncang Dunia” patut disematkan pada Arky Gilang Wahab – Pemuda lulusan Teknik Geodesi ITB (Institut Teknologi Bandung) yang tergerak hatinya untuk menjadi bagian dari solusi permasalahan sampah di tanah kelahirannya, Banyumas.

Di saat banyak sarjana berbondong-bondong mendulang rupiah di ibu kota, Ia memilih untuk pulang, mengabdi pada Banyumas. Melihat masalah darurat sampah yang melanda Banyumas 2018 silam, bukan hanya kritik pedas yang Ia sampaikan pada pemerintah, Arky mengambil langkah konkret dengan menginisiasi terbentuknya Greenprosa dan merangkul erat pemerintah setempat. Hasilnya tak tanggung-tanggung, bukan hanya menuntaskan masalah sampah, tetapi juga menggerakkan ekonomi masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya bahkan menjadi percontohan pengelolaan sampah bagi daerah-daerah lainnya. Atas kontribusinya, Ia didapuk sebagai Penerima Apresiasi Semangat Astra Untuk (SATU) Indonesia Awards dari tahun 2021. 

Sampah dan Manusia

Kebakaran TPA Rawa Kucing (Foto: Kompas.com)

Sering kita mendengar istilah Homo Homini Socius: Manusia adalah teman bagi manusia lainnya, dan istilah Homo Homini Lupus: Manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Terminologi tersebut sepertinya cocok kita gunakan untuk menggambarkan hubungan manusia dengan sampah. Sepanjang hidupnya manusia tidak dapat dipisahkan dari sampah, dimana manusia tinggal disitu akan terdapat sampah dan begitu pula sebaliknya, dimana ada sampah disitu pasti ada aktivitas manusia. Pertanyaannya, sampah ini akan merugikan atau justru memberi manfaat untuk manusia?

Sebagian besar orang akan menjawab, sampah sebagaimana definisinya: Sampah merupakan barang-barang yang sudah tidak diinginkan dan tidak digunakan lagi atau barang-barang sisa dari sebuah aktivitas manusia (World Bank, 2018).  Padahal, jumlah populasi manusia bertambah setiap tahunnya, bukankah hal tersebut akan berbanding lurus dengan jumlah populasi sampahnya?

Source: Youtube SDG Academy Indonesia

Menurut UNEP (2017), Indonesia merupakan penghasil sampah perkotaan nomor 2 terbesar di Asean yakni mencapai 64 juta ton dengan komposisi sampah makanan dan sampah organik mencapai 60 % dengan estimasi 400 kg sampah/tahun/orang. Sampah makanan dan sampah organik dari sampah rumah tangga maupun sampah industri berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Selain menimbulkan bau tidak sedap, sampah organik yang tidak terkelola lambat laun bisa memunculkan gangguan terhadap kualitas air, udara, lingkungan, dan kesehatan. Sampah yang menumpuk di TPA bisa menimbulkan gas etana berbahaya, bahkan memicu kebakaran. Tercatat pada sepanjang tahun 2023 terdapat 14 TPA di Indonesia yang mengalami kebakaran (kompas.com). Padahal, sampah yang terbakar bisa berdampak sangat serius untuk kesehatan. Kebakaran TPA tentunya merupakan hal yang  bisa saja terjadi di TPA-TPA lainnya apabila tidak diantisipasi sesegera mungkin, apalagi hampir seluruh TPA di Indonesia masih dalam bentuk Open Dump.

TPA Kaliori Ditutup Warga

Demo warga menuntut perbaikan pengelolaan sampah TPA Kaliori (Foto : Tribun Jateng)

Permasalahan pengelolaan sampah salah satunya terjadi di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kaliori, Kecamatan Kalibagor, Kabupaten Banyumas. Penampungan sampah membludak karena tak terkelola sebagaimana mestinya, setiap harinya 400 kubik sampah ditumpahkan di TPA Kaliori, tak pelak penampungan sampah kelebihan muatan bahkan menimbun Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL). Akibatnya, air yang semestinya tersaring menjadi keruh dan berbau, merembes mencemari sumur dan lahan pertanian warga. Pada April 2018 lalu, ratusan warga Kaliori berbondong-bondong mendatangi TPA Kaliori, melayangkan aksi protes dan berbuntut melakukan penutupan segala aktivitas di TPA Kaliori.

Dari hasil riset yang dipaparkan oleh Direktur LKB Fisip Unsoed Nilawati bersama Direktur Eksekutif Navigator Research Strategic, Novita Sari menjelaskan dari penelitian TPA Kaliori ternyata jarak antara TPA dengan pemukiman penduduk hanya 100 meter. Instalasi pengolahan air limbah (IPAL) juga tidak berfungsi. Penyebabnya, pengelolaan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kaliori masih menggunakan metode open dumping, dalam pelaksanaannya setiap truk sampah yang masuk ke TPA Kaliori, begitu datang hanya memindahkan sampah dari truk ke dalam lokasi TPA Kaliori, tanpa adanya pengolahan lebih lanjut. Aktivitas di lokasi TPA Kaliori hanya ada penggunaan alat berat bulldozer, untuk meratakan sampah yang telah dipindahkan dari truk agar tidak menggunung.

Greenprosa dan Masa Depan Indonesia  

Arky Gilang Wahab Bersama Greenprosa (foto: Instagram @arkygilang)

Ditutupnya TPA Kaliori tentunya menimbulkan masalah baru, TPA tak beroperasi, sampah berserakan dimana-mana termasuk di pusat kota, di pinggir jalan dan sepanjang wilayah Banyumas.  Selain tak sedap dipandang mata, bau tak sedap juga menguar dari sampah dan mengganggu aktivitas warga. Melihat permasalahan sampah tersebut, Arky tak menutup mata, Ia memutar otak, bagaimana caranya agar permasalahan sampah tersebut bisa teratasi. Ditanya dalam live Inspiranation di Youtube SATU Indonesia, Arky mengatakan bahwa alasan terbesarnya bergerak awalnya karena risih dengan pemandangan sampah dimana-mana dan ‘menuntut pemerintah’ saja belum tentu jadi solusi.

“Ketika kita sebagai anak muda dan teriak-teriak ke pemerintah minta diberesin apa segala macam, apa itu akan mengubah? Saya pikir nggak segitunya. Kalau kita mau berteriak, ya, kita lakuin dulu, dong", ucap Arky.

Awalnya, Arky memilih mengolah sampah menjadi pupuk kompos dengan cara sampah organik diolah menggunakan metode composting. Namun cara ini ternyata tidak berjalan karena kendala tempat dan waktu. Jumlah sampah yang besar membutuhkan lahan yang luas juga untuk proses pengomposan dan membutuhkan waktu 1 hingga 3 bulan untuk menjadi kompos dengan catatan proses pengomposan dilakukan dengan benar.

Arky pun beralih ke budidaya maggot. Maggot adalah larva lalat yang dihasilkan siklus hidup lalat tentara hitam (Black Soldier Fly/BSF). Maggot ini bermanfaat untuk mengkonversi sampah organik dan mampu memakan sampah organik sebanyak 3-5 kali berat tubuhnya. Jadi setiap 1 kg Maggot bisa memakan sampah organik 3-5 kg dalam waktu kurang dari 1 hari.

Bapak dua anak ini pun mendirikan sebuah perusahaan yang bernama Greenprosa. Greenprosa adalah socio enterprise yang berfokus pada pemberdayaan masyarakat. Greenprosa memiliki jargon “Hijaukan Bumi, Birukan Langit” yang berkontribusi dengan menciptakan industri hijau berkelanjutan dengan teknologi Maggot BSF. Adapun pesan yang dibaawa adalah bagaimana Greenprosa tersebut bisa memberdayakan masyarakat, ramah lingkungan dan bisa mewujudkan ekonomi sirkular. 

Gandeng Pemerintah, Atasi Sampah Dari Hulu ke Hilir 

Proses pemilahan sampah organik dan anorganik (Foto: Youtube Greenprosa)

Darurat sampah yang terjadi 2018 lalu menjadi titik balik pengelolaan sampah di Banyumas dan kini menjadi daerah dengan pengelolaan sampah terbaik di Indonesia. Dalam praktik pengelolaan sampah, Pemerintah Kabupaten Banyumas bergandengan tangan berkolaborasi dengan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), pihak swasta, dan juga BUMD. Selain itu, dibangun 7 Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) yang dilengkapi dengan mesin pemilah sampah otomatis, dan armada pengangkut sampah.

Adapun komposisi sampah di Banyumas, sebesar 50% merupakan sampah organik atau sekitar 200 ton per hari.  Melihat keberhasilan pegelolaan sampah organik yang dilakukan oleh Greenprosa, pemerintah daerah menggandeng Greenposa dalam pengelolaan berbagai TPST di Banyumas bersama KSM. Bak simbiosis mutualisme, KSM terbantu dalam pengelolaan sampah organiknya sedangkan Greenprosa mendapatkan pakan murah untuk Maggot dan juga disediakan lahan di TPST.

Sampah Jadi Penggerak Ekonomi Sirkular

Aktivitas memilah sampah secara manual (Foto: Instagram @greenprosa)

Greenprosa lahir tidak lain dan tidak bukan adalah untuk membantu masyarakat, setelah berjalan membantu menuntaskan permasalahan sampah organik melalui budidaya maggot, Arky melihat sebuah peluang usaha baru. Maggot memiliki nilai ekonomi. Maggot BSF yang dibudidayakan Arky kaya akan protein dan nutrisi sehingga bisa dijadikan makanan ternak.

Tak hanya itu, pupuk yang dihasilkan dari pengolahan sampah organik menggunakan maggot ini juga membuat tanah lebih subur. Arky telah membantu pertanian dan peternakan di sekitarnya. Tak heran, dia pun diangkat sebagai Ketua Duta Petani Milenial Banyumas. Bersama Greenprosa, Arky ingin memberdayakan masyarakat sekitarnya, khususnya yang bergerak di bidang pertanian, peternakan, dan pengelola sampah.

Produk Greenprosa adalah larva BSF dengan merek "mrmaggotbsf" yang merupakan teknologi biokonversi sampah organik yang paling efektif dan ramah lingkungan. Greenposa ini menggerakkan ekonomi sirkular. Yakni, ekonomi yang melibatkan banyak pihak sehingga semua merasakan dampak ekonomi secara langsung dan berkelanjutan.

Sejak tahun 2018, Greenprosa terus bergerak. Melestarikan lingkungan dan menggerakkan ekonomi sirkular.  Pencapaiannya saat ini, sudah mengelola 6.704 ton sampah, bermitra dengan 8.312 rumah dan 102 industri, kantor, dan horeka. Bahkan, tahun 2022 ini, Arky dipercaya mengelola sampah organik tempat wisata. Greenprosa dipercaya mengelola sampah organik dari TSI (Taman Safari Indonesia). 

Semakin banyak sampah organik yang dikelola, semakin membantu mengatasi penumpukan sampah di TPA. Pun, semakin banyak pundi-pundi yang diperoleh. Bahkan, Arky mampu meraup omset 500 juta rupiah setiap bulannya dari hasil budidaya maggot ini. Membayangkan langkah Arky ini diduplikasi di banyak daerah di Indonesia tentunya menjadi harapan baru, menjadi oase segar bagi peliknya permasalahan sampah di Indonesia.