Sepandai-pandainya manusia ialah ia yang pandai bersyukur
Angin berembus, mencipta dingin tak terkira yang menghunus kulit
Lampu kiri kanan jalan menebar cahaya sekeliling
Mempermudah langah-langkah kami untuk beradu dengan jalanan yang sepi
Pukul 02.00 dini hari
Biasanya aku sudah terlelap di jam-jam ini, atau kalau sedang mengalami masa begadang aku sedang bersiap-siap menuju tidur
Tapi lain dengan hari ini, bersama teman-teman organisasiku
Kami menyusuri jalanan
Tak kusangka
Di kanan kiri jalan, kudapati orang-orang beraktivitas
Layaknya siang kala matahari menyingsing
Mereka yang menyapu jalanan, mendorong gerobak dengan gunungan sampah
Mereka yang mengayuh perlahan sedel penggerak lingkaran roda
Mereka yang bersiap-siap menjajakan dagangannya di selasar jalanan
Kulirik lagi jam tanganku, masih jam dua lebih lima belas menit,
"Gilak ! Kalau mereka jualan jam segini, jam berapa mereka mulai mempersiapkan dagangannya?" pikirku
"Gilak, lantas kapan mereka istirahat dan menikmati hidup?" tanyaku dalam hati
Aku tak mengerti
Sering aku mengeluhkan keadaan
Bahkan urusan remeh temeh tentang sebab kenapa aku harus bangun pagi-pagi
Tentang bagaimana begitu tidak bersyukurnya aku dengan kiriman uang tiap bulan dari orang tuaku yang kurasakan terus menerus kurang
Padahal aku hanya menjalankan kewajiban
Tidak memperjuangkan seperti orang-orang lain memperjuangkannya
Aku memunduk malu
Seberapa banyak hal yang aku miliki dan tidak dimiliki orang lain?
Seberapa banyak aku bersyukur dan membantu yang lain?
Barang sedikit saja -
9.6.17
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment