;

6.11.23

Greenprosa : Oase Segar Permasalahan Sampah di Indonesia

 


“Beri Aku sepuluh orangtua maka akan kucabut semeru dari akarnya, beri Aku sepuluh pemuda, maka akan kuguncangkan dunia” – Soekarno


Arky Gilang Wahab menunjukkan larva BSF/Maggot budidaya Greenposa (Source: Mongabay)

Ungkapan tersebut terdengar klise di telinga, namun sangat relevan sebagai cambuk semangat pemuda untuk berkontribusi pada permasalahan-permasalahan di negeri ini. Istilah “Pemuda yang Mengguncang Dunia” patut disematkan pada Arky Gilang Wahab – Pemuda lulusan Teknik Geodesi ITB (Institut Teknologi Bandung) yang tergerak hatinya untuk menjadi bagian dari solusi permasalahan sampah di tanah kelahirannya, Banyumas.

Di saat banyak sarjana berbondong-bondong mendulang rupiah di ibu kota, Ia memilih untuk pulang, mengabdi pada Banyumas. Melihat masalah darurat sampah yang melanda Banyumas 2018 silam, bukan hanya kritik pedas yang Ia sampaikan pada pemerintah, Arky mengambil langkah konkret dengan menginisiasi terbentuknya Greenprosa dan merangkul erat pemerintah setempat. Hasilnya tak tanggung-tanggung, bukan hanya menuntaskan masalah sampah, tetapi juga menggerakkan ekonomi masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya bahkan menjadi percontohan pengelolaan sampah bagi daerah-daerah lainnya. Atas kontribusinya, Ia didapuk sebagai Penerima Apresiasi Semangat Astra Untuk (SATU) Indonesia Awards dari tahun 2021. 

Sampah dan Manusia

Kebakaran TPA Rawa Kucing (Foto: Kompas.com)

Sering kita mendengar istilah Homo Homini Socius: Manusia adalah teman bagi manusia lainnya, dan istilah Homo Homini Lupus: Manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Terminologi tersebut sepertinya cocok kita gunakan untuk menggambarkan hubungan manusia dengan sampah. Sepanjang hidupnya manusia tidak dapat dipisahkan dari sampah, dimana manusia tinggal disitu akan terdapat sampah dan begitu pula sebaliknya, dimana ada sampah disitu pasti ada aktivitas manusia. Pertanyaannya, sampah ini akan merugikan atau justru memberi manfaat untuk manusia?

Sebagian besar orang akan menjawab, sampah sebagaimana definisinya: Sampah merupakan barang-barang yang sudah tidak diinginkan dan tidak digunakan lagi atau barang-barang sisa dari sebuah aktivitas manusia (World Bank, 2018).  Padahal, jumlah populasi manusia bertambah setiap tahunnya, bukankah hal tersebut akan berbanding lurus dengan jumlah populasi sampahnya?

Source: Youtube SDG Academy Indonesia

Menurut UNEP (2017), Indonesia merupakan penghasil sampah perkotaan nomor 2 terbesar di Asean yakni mencapai 64 juta ton dengan komposisi sampah makanan dan sampah organik mencapai 60 % dengan estimasi 400 kg sampah/tahun/orang. Sampah makanan dan sampah organik dari sampah rumah tangga maupun sampah industri berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Selain menimbulkan bau tidak sedap, sampah organik yang tidak terkelola lambat laun bisa memunculkan gangguan terhadap kualitas air, udara, lingkungan, dan kesehatan. Sampah yang menumpuk di TPA bisa menimbulkan gas etana berbahaya, bahkan memicu kebakaran. Tercatat pada sepanjang tahun 2023 terdapat 14 TPA di Indonesia yang mengalami kebakaran (kompas.com). Padahal, sampah yang terbakar bisa berdampak sangat serius untuk kesehatan. Kebakaran TPA tentunya merupakan hal yang  bisa saja terjadi di TPA-TPA lainnya apabila tidak diantisipasi sesegera mungkin, apalagi hampir seluruh TPA di Indonesia masih dalam bentuk Open Dump.

TPA Kaliori Ditutup Warga

Demo warga menuntut perbaikan pengelolaan sampah TPA Kaliori (Foto : Tribun Jateng)

Permasalahan pengelolaan sampah salah satunya terjadi di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kaliori, Kecamatan Kalibagor, Kabupaten Banyumas. Penampungan sampah membludak karena tak terkelola sebagaimana mestinya, setiap harinya 400 kubik sampah ditumpahkan di TPA Kaliori, tak pelak penampungan sampah kelebihan muatan bahkan menimbun Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL). Akibatnya, air yang semestinya tersaring menjadi keruh dan berbau, merembes mencemari sumur dan lahan pertanian warga. Pada April 2018 lalu, ratusan warga Kaliori berbondong-bondong mendatangi TPA Kaliori, melayangkan aksi protes dan berbuntut melakukan penutupan segala aktivitas di TPA Kaliori.

Dari hasil riset yang dipaparkan oleh Direktur LKB Fisip Unsoed Nilawati bersama Direktur Eksekutif Navigator Research Strategic, Novita Sari menjelaskan dari penelitian TPA Kaliori ternyata jarak antara TPA dengan pemukiman penduduk hanya 100 meter. Instalasi pengolahan air limbah (IPAL) juga tidak berfungsi. Penyebabnya, pengelolaan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kaliori masih menggunakan metode open dumping, dalam pelaksanaannya setiap truk sampah yang masuk ke TPA Kaliori, begitu datang hanya memindahkan sampah dari truk ke dalam lokasi TPA Kaliori, tanpa adanya pengolahan lebih lanjut. Aktivitas di lokasi TPA Kaliori hanya ada penggunaan alat berat bulldozer, untuk meratakan sampah yang telah dipindahkan dari truk agar tidak menggunung.

Greenprosa dan Masa Depan Indonesia  

Arky Gilang Wahab Bersama Greenprosa (foto: Instagram @arkygilang)

Ditutupnya TPA Kaliori tentunya menimbulkan masalah baru, TPA tak beroperasi, sampah berserakan dimana-mana termasuk di pusat kota, di pinggir jalan dan sepanjang wilayah Banyumas.  Selain tak sedap dipandang mata, bau tak sedap juga menguar dari sampah dan mengganggu aktivitas warga. Melihat permasalahan sampah tersebut, Arky tak menutup mata, Ia memutar otak, bagaimana caranya agar permasalahan sampah tersebut bisa teratasi. Ditanya dalam live Inspiranation di Youtube SATU Indonesia, Arky mengatakan bahwa alasan terbesarnya bergerak awalnya karena risih dengan pemandangan sampah dimana-mana dan ‘menuntut pemerintah’ saja belum tentu jadi solusi.

“Ketika kita sebagai anak muda dan teriak-teriak ke pemerintah minta diberesin apa segala macam, apa itu akan mengubah? Saya pikir nggak segitunya. Kalau kita mau berteriak, ya, kita lakuin dulu, dong", ucap Arky.

Awalnya, Arky memilih mengolah sampah menjadi pupuk kompos dengan cara sampah organik diolah menggunakan metode composting. Namun cara ini ternyata tidak berjalan karena kendala tempat dan waktu. Jumlah sampah yang besar membutuhkan lahan yang luas juga untuk proses pengomposan dan membutuhkan waktu 1 hingga 3 bulan untuk menjadi kompos dengan catatan proses pengomposan dilakukan dengan benar.

Arky pun beralih ke budidaya maggot. Maggot adalah larva lalat yang dihasilkan siklus hidup lalat tentara hitam (Black Soldier Fly/BSF). Maggot ini bermanfaat untuk mengkonversi sampah organik dan mampu memakan sampah organik sebanyak 3-5 kali berat tubuhnya. Jadi setiap 1 kg Maggot bisa memakan sampah organik 3-5 kg dalam waktu kurang dari 1 hari.

Bapak dua anak ini pun mendirikan sebuah perusahaan yang bernama Greenprosa. Greenprosa adalah socio enterprise yang berfokus pada pemberdayaan masyarakat. Greenprosa memiliki jargon “Hijaukan Bumi, Birukan Langit” yang berkontribusi dengan menciptakan industri hijau berkelanjutan dengan teknologi Maggot BSF. Adapun pesan yang dibaawa adalah bagaimana Greenprosa tersebut bisa memberdayakan masyarakat, ramah lingkungan dan bisa mewujudkan ekonomi sirkular. 

Gandeng Pemerintah, Atasi Sampah Dari Hulu ke Hilir 

Proses pemilahan sampah organik dan anorganik (Foto: Youtube Greenprosa)

Darurat sampah yang terjadi 2018 lalu menjadi titik balik pengelolaan sampah di Banyumas dan kini menjadi daerah dengan pengelolaan sampah terbaik di Indonesia. Dalam praktik pengelolaan sampah, Pemerintah Kabupaten Banyumas bergandengan tangan berkolaborasi dengan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), pihak swasta, dan juga BUMD. Selain itu, dibangun 7 Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) yang dilengkapi dengan mesin pemilah sampah otomatis, dan armada pengangkut sampah.

Adapun komposisi sampah di Banyumas, sebesar 50% merupakan sampah organik atau sekitar 200 ton per hari.  Melihat keberhasilan pegelolaan sampah organik yang dilakukan oleh Greenprosa, pemerintah daerah menggandeng Greenposa dalam pengelolaan berbagai TPST di Banyumas bersama KSM. Bak simbiosis mutualisme, KSM terbantu dalam pengelolaan sampah organiknya sedangkan Greenprosa mendapatkan pakan murah untuk Maggot dan juga disediakan lahan di TPST.

Sampah Jadi Penggerak Ekonomi Sirkular

Aktivitas memilah sampah secara manual (Foto: Instagram @greenprosa)

Greenprosa lahir tidak lain dan tidak bukan adalah untuk membantu masyarakat, setelah berjalan membantu menuntaskan permasalahan sampah organik melalui budidaya maggot, Arky melihat sebuah peluang usaha baru. Maggot memiliki nilai ekonomi. Maggot BSF yang dibudidayakan Arky kaya akan protein dan nutrisi sehingga bisa dijadikan makanan ternak.

Tak hanya itu, pupuk yang dihasilkan dari pengolahan sampah organik menggunakan maggot ini juga membuat tanah lebih subur. Arky telah membantu pertanian dan peternakan di sekitarnya. Tak heran, dia pun diangkat sebagai Ketua Duta Petani Milenial Banyumas. Bersama Greenprosa, Arky ingin memberdayakan masyarakat sekitarnya, khususnya yang bergerak di bidang pertanian, peternakan, dan pengelola sampah.

Produk Greenprosa adalah larva BSF dengan merek "mrmaggotbsf" yang merupakan teknologi biokonversi sampah organik yang paling efektif dan ramah lingkungan. Greenposa ini menggerakkan ekonomi sirkular. Yakni, ekonomi yang melibatkan banyak pihak sehingga semua merasakan dampak ekonomi secara langsung dan berkelanjutan.

Sejak tahun 2018, Greenprosa terus bergerak. Melestarikan lingkungan dan menggerakkan ekonomi sirkular.  Pencapaiannya saat ini, sudah mengelola 6.704 ton sampah, bermitra dengan 8.312 rumah dan 102 industri, kantor, dan horeka. Bahkan, tahun 2022 ini, Arky dipercaya mengelola sampah organik tempat wisata. Greenprosa dipercaya mengelola sampah organik dari TSI (Taman Safari Indonesia). 

Semakin banyak sampah organik yang dikelola, semakin membantu mengatasi penumpukan sampah di TPA. Pun, semakin banyak pundi-pundi yang diperoleh. Bahkan, Arky mampu meraup omset 500 juta rupiah setiap bulannya dari hasil budidaya maggot ini. Membayangkan langkah Arky ini diduplikasi di banyak daerah di Indonesia tentunya menjadi harapan baru, menjadi oase segar bagi peliknya permasalahan sampah di Indonesia.

 




2.2.23

Bagaimana Jika Bagaimana? Part 5

 



Tumbuhnya Harapan

Selepas bertemu dengan Gina, Arum banyak menghabiskan waktunya di kamar. Bukan untuk merenungi nasib yang tak memihakknya. Justru untuk merefleksi diri dan mengenali diri jauh lebih dalam lagi. Apa hal-hal yang disukainya, apa hal yang disukai banyak orang, dan apa yang kemungkinan bisa menjadi usaha yang bermanfaat untuk banyak orang atas hal-hal yang Ia senangi. Betapa waktu yang ia lalui selama ini benar-benar sia-sia karena tak berisi harapan namun kepasrahan. Ia kembali menggenggam percaya diri yang selama ini hilang entah kemana..

Di ruang tamu rumahnya, Arum menemui ayahnya yang sedang menonton siaran bola kesayangannya. Arum ikut menonton hingga selesai, hingga akhirnya Ia beranikan diri untuk berbicara dengan ayahnya.

“Pak, Arum ingin mengembalikan masa-masa kejayaan Arum dulu, Arum pengen buka usaha Pak! Arum kan sedikit-sedikit belajar pola-pola menjahit, dan Arum juga suka gambar-gambar desain baju kayak gini Pak.” Ujar Arum sambil memperlihatkan desain-desain gamis yang sering dibuatnya

“Waah, masyaAllah, seneng bapak lihatnya kamu udah bisa senyum-senyum begini, bapak perhatikan kok akhir-akhir ini cemberut aja. InsyaAllah bapak dukung, tapi modalnya nanti darimana Rum?”

“Emm, Arum sih pengennya ga pinjem-pinjem duit gitu Pak, tapi kalo ada ya gapapa, hehehe” ujar Arum bercanda

“Arum mau izin bapak, mau jual si Viki, motor Arum itu untuk modal usaha, nanti Arum kalau kemana-mana pinjem motor Bapak dulu.”

“Beneran, Viki mau dijual? Udah dipikir-pikir dulu?”
“Beneeeer Pak, nanti deh Arum bikin selametan buat perpisahan sama Viki.” Kata Arum bercanda lagi.

“Terus, rencanamu gimana ini usahamu kok udah pede banget kayaknya,” tanya ayah Arum

“Jadi begini Pak,……” Arum menceritakan rencana-rencana usaha konveksi kecil-kecilan yang akan dirintisnya

“Momentum Pak, sebentar lagi Ramadhan, Arum harus segera bergerak. Siapa tahu jalan kesuksesan Arum dari sini.” ujar Arum percaya diri.

Sejak saat itu, Arum memulai hidup barunya dengan memulai usaha pakaian wanita. Ia berkomitmen menciptkan pakaian berkualitas dengan harga super terjangkau. Ia mencari kain dari produsen kain sehingga mendapatkan harga minimum, serta mencari penjahit dengan kualitas tinggi dan harga yang terjangkau. Meski usahanya masih merangkak, namun perlahan, Arum mulai mendapatkan “The perks being an entrepreneur” versi dia.

Ia percaya setiap hal perlu diperjuangkan

Tak perlu merasa paling lemah dengan menyalahkan takdir

Setiap orang memiliki kehidupan yang berbeda

Ujian yang berbeda, serta kenikmatan yang berbeda

Karena hidup yang kita menangkan, adalah hidup yang kita perjuangkan.

TAMAT

Bagaimana Jika Bagaimana Part 4

 

                                                    

Sawang Sinawang

Di meja kamarnya, Arum mengotak-atik laptop jadul miliknya. Dibilang jadul, karena memang, sudah sejak Ia SMA – 7 tahun yang lalu laptop itu membersamainya. Ia menekan tombol refresh di kotak masuk emailnya, berharap ada pesan yang masuk dari tempat-tempat pekerjaan yang sebelumnya ia lamar. Begitu terus, namun hasilnya tetep nihil.

“Rum, anterin ibu ke pasar yuk!” suara Ibu Arum mengagetkan perempuan yang sedang termenung itu.

Arum berganti pakaian dan bergegas keluar kamar. Kemudian ia menyalakan motor vario hitam keluaran lama yang Ia beli second saat Ia bekerja dulu.

Ia mengantar ibunya ke pasar yang cukup jauh dari rumahnya, entahlah, meskipun ada pasar yang jaraknya jauh lebih dekat, Ibu Arum memang selalu berbelanja ke pasar itu, lebih lengkap dan murah katanya. Pasar itu Bernama Pasar Sidodadi, berjarak hampir 10km dari rumahnya.

Sesampainya di pasar, tak lama kemudian ada seorang perempuan yang memanggil dirinya. Perempuan cantik bertubuh gempal dengan seorang anak kecil menggemaskan menggamit tangannya. Ia kenal betul perempuan itu, salah satu teman karibnya saat sekolah dulu.

“Arum! MasyaAllah, bertahun-tahun gak ketemu, ketemunya justru di pasar,” kata perempuan itu.

Ibu Arum memberi isyarat pada Arum untuk menemui temannya lantas berlalu pergi.

“Gina! Ini anakmu Gin? Kok nikah ga kabar-kabar?” sergah Arum

“Iya, gaenak aku, dulu kan nikah pas covid, lagian aku langsung ikut suamiku ke Batam, ya sekarang ini lagi liburan, kangen sama rumah.” Jawab Gina

“Oalah iya gapapa Gin, kita kesana aja yuk! Biar ngobrolnya enak,” ujar Arum sambil menunjuk warung bakso di ujung barat pasar.

Mereka kini saling nostalgia dengan masa-masa sekolah mereka. Kisah masa lalu yang tak mungkin terulang kembali.

“Beruntung banget ya kamu Gin! Punya suami sukses, punya anak yang lucu,” ujar Arum tiba-tiba

“Lha kamu ini gimana kabarnya Rum? Kok jam segini bisa ke pasar? Apa ga sibuk kerja?”

“Ya itulah Gin, susah banget cari kerjaan, di saat banyak orang seumuran kita udah berhasil dan mapan aku masih numpang dengan orangtua.”

“Eh, kamu kan dulu suka banget ikutan lomba bisnis Rum, kenapa ga mulai usaha aja?”

“Emm, ga pede aku Gin, gaada modal juga, kalo mau pinjem modal usaha, gimana nanti kalo gagal?”

“Rum, aku yang sekarang jadi Ibu Rumah Tangga juga ga seenak yang terlihat kok! Bosen di rumah terus, tapi ya aku menerima dan mensyukurinya, peranku saat ini ya ini. Kalo kamu, mumpung masih banyak kesempatan berbakti, masih single, beraniin aja coba segala kemungkinan, jangan menyerah dengan keadaan Rum. Kamu pasti bisa jadi orang sukses!”

Pertemuan dengan Gina membuat Arum percaya diri dengan kemampuannya. Jika kesulitan mencari kerja mematikan mimpinya, bukankah Ia seharusnya bisa menciptakan mimpi yang baru dengan membuka usaha?


31.1.23

Bagaimana Jika Bagaimana? Part 3

 

PART 3 : Mereka yang Hilang

Malam itu, Arum sulit sekali untuk tidur. Rasa sesak dan kecewa pada dirinya benar-benar membuncah selepas berpelukan dengan ibunya. Ia benar-benar merasa menjadi anak yang tak berguna, menjadi kakak yang tak berhasil membantu adik-adiknya. Di dipan kamarnya, ia termenung, pikirannya menerawang kemana-mana.

Diraihnya ponsel di ujung kasur dan ia membuka sosial media Instagram yang dimilikinya. Berniat mencari inspirasi yang membantunya keluar dari masa-masa sulit, pilihannya membuka sosial media justru membuat pikirannya semakin kusut. Pada linimasa gawainya, tampak huru hara bahagia teman-temannya yang telah sukses berkarir. Dipandanginya dengan sayu, ada yang asik bekerja sebagai PNS, ada yang sibuk memposting pekerjaan sebagai dokter dengan jas putih nan menawan, ada yang bekerja dengan berplesiran keliling Indonesia, ada yang melanjutkan kuliah di luar negeri, ada juga yang membagikan momen pertunangan, pernikahan, ada juga yang sedang liburan dengan suami dan juga anaknya yang manis. Selain itu, masih ada banyak sekali kisah-kisah sukses teman-temannya yang hanya bisa Ia pandangi lewat layar semata.

Guliran tangan Arum berhenti pada sebuah foto, seorang perempuan berfoto dengan keempat teman lainnya, menggunakan baju yang sama dengan riasan menawan berlatar belakang gedung pencakar langit. Perempuan itu adalah Allisa, sahabatnya semasa SMA yang dulunya kemanapun selalu bersamanya, masa-masa SMA yang indah dengan sahabat yang teramat setia. Setiap ada Arum disitu pasti ada Allisa, begitu kata teman-temannya pada saat itu, termasuk guru-gurunya. Persahabatan mereka masih terjalin dengan manis semasa kuliah, meskipun berbeda kampus, namun tetap berada dalam satu kota dan mereka masih sering bersama. Namun, dua tahun belakangan, Ia bak hilang ditelan bumi. Hidup sukses di ibukota membuatnya lupa untuk menyapa sahabatnya yang sedang kesusahan, bahkan pesan demi pesan yang dikirim Arum pun hampir tak pernah terbaca olehnya.

Sebenarnya tak hanya Allisa, ketika di kampus pun, Ia memiliki sahabat-sahabat yang sering menghabiskan waktu bersamanya. Sahabat-sahabat dengan jurusan yang sama dengannya, maupun sahabat di UKM Mapala yang diikutinya. Tapi rasa-rasanya, kini mereka habis tak bersisa. Hilang di telan kesibukan kehidupan yang baru.

Pikiran-pikiran rendah diri merasuki Arum seketika, membayangkan betapa gagalnya dia selama ini, membayangkan sakitnya ditinggal sahabat-sahabat yang dulunya begitu dekat, pikiran itu berkecamuk dalam dirinya, kemudian lekas-lekas Ia menutup ponselnya, dan menarik nafas panjang.

“Sia-sia,” ujarnya.

Tak ada lagi yang bisa diharapkannya dari pertolongan manusia, Ia sangat percaya TuhanNya tak akan meninggalkannya.

Bersambung….

 

 

 


30.1.23

Bagaimana Jika Bagaimana? Part 2

 

Pilihan yang Berbeda

Hari masih pagi, cahaya mentari perlahan masuk melalui celah-celah jendela kamar Arum yang terbuat dari kayu-kayu yang disusun renggang-renggang. Sajadah tempatnya menunaikan shalat subuh tadi sudah kembali tersusun rapi pada rak kayu di sudut ruangan. Ia tampak termenung cukup lama, lantas keluar kamar. Dilihatnya, sang Ibu menatap sebuah foto di ruang tengah dengan kemoceng di tangan kanannya.

“Ngelihat foto apa bu? serius amat?” tanya Arum sambil mendekat ke arah ibunya.

“Ini lihat foto kamu, sama bapak ibuk, ini pas wisuda SMA kan ya? Seneng banget ya kelihatannya saat itu di foto, kamu ya cantik banget, ibuk ya cantik, bapak yaaa enggak sekurus sekarang lah,” ujar Ibu Arum tiba-tiba sambil tertawa kecil.

“Iya buk,” jawab Arum lirih.

Ingatan Arum kembali pada masa-masa putih abu-abunya. Masa dimana hari-harinya dihabiskan di sekolah, ikut lomba-lomba business plan, dan hari senin yang menyenangkan karena namanya akan sering dipanggil ke depan untuk mendapatkan hadiah lomba-lomba yang ia ikuti. Saat itu adalah saat yang paling Ia tunggu, Ia akan dengan mudah melihat senyum manis Ardian, laki-laki yang disukainya ke arahnya dari depan barisan.

“Inget nggak kamu Rum? Saat itu kamu Juara 2 paralel IPS di sekolah. Saking bapak bangganya sama kamu, tanah bapak yang di dekat lapangan itu gak lama dijual buat membiayai kamu kuliah, biar kamu semangat kuliah.” lanjut Ibu Arum.

Arum terdiam, bulir-bulir air mulai tampak mengambang di ujung matanya.

“Ah, andai dulu kamu mau dengerin Ibu, kuliah pendidikan, jadi guru, jadi PNS, pasti saat ini Ibu udah lega ada yang bantuin adik-adikmu,…” Ibu Arum tak melanjutkan kalimatnya.

Arum tertunduk lesu, kali ini ingatannya membawanya pada masa-masa ia ngotot tak mau mengambil jurusan pendidikan yang diinginkan ibunya. Hingga akhirnya, ibunya merelakan Ia mengambil jurusan kuliah yang diinginkannya, jurusan manajemen. Selama kuliah, Ia tak lagi menjadi sosok berprestasi, Ia menembus batas dirinya dengan ikut Mapala Fakultas. Hobinya yang dulu sering ikut lomba, berubah drastis menjadi menakhlukkan gunung.

“Kali ini Ibu benar-benar bingung Rum, adikmu itu pengen banget kuliah tapi sekarang udah gak ada lagi aset kita yang bisa dijual kaya dulu,”

Kali ini, air mata Arum benar-benar jatuh. Ia mendekap ibunya kuat.

“Maafin Arum ya Bu, belum bisa jadi anak kebanggaan ibu.”

Dari jendela samping rumah yang berteralis kayu, sang ayah menyaksikan pemandangan istri dan anak perempuan pertamanya itu berpelukan. Mata lelaki paruh baya itu tampak sayu.

Bagaimana jika Damar, anak laki-lakinya itu akhirnya tak bisa kuliah seperti kakaknya dulu?

 

Bersambung....

29.1.23

Bagaimana Jika Bagaimana? Part 1

 



Part 1. Jiwa-jiwa yang Rapuh

20 Desember 2022

Perempuan itu memandangi wajahnya di kaca kecil yang selalu Ia bawa kemana-mana. Kebiasaan itu memang sudah sejak kecil ia lakukan. Baginya, memandangi wajah adalah salah satu cara untuk memberinya ketenangan. Ia percaya, wajahnya yang demikian detail dilukis Tuhan adalah wujud kasihNya yang teramat nyata. Ia percaya, sekuat apapun badai di depan mataNya, ada tangan Tuhan yang akan selalu memberinya pertolongan. Setelah puas memandangi wajahnya, Ia meletakkan kaca kecil bergambar pemandangan alam itu di meja, lantas disapunya wajahnya menggunakan tangan kiri dan wajahnya tertunduk ke bawah. Ia tampak pening, belasan, bahkan puluhan email lamaran pekerjaan sudah Ia kirimkan sejak Ia memutuskan untuk resign di pekerjaan sebelumnya September lalu, namun tak ada jawaban hingga kini. Ia sangat yakin, Tuhan menyayanginya, namun kali itu, Ia benar-benar merasa rapuh.

Ia adalah Arum, perempuan berwajah teduh dengan kacamata yang menghiasi wajahnya. Usianya 26 tahun. Semenjak lulus kuliah tahun 2020 lalu, Ia bekerja di sebuah pabrik percetakan di bagian administrasi. Bekerja di percetakan bukanlah keinginannya, apalagi tak sesuai dengan jurusan yang Ia ambli saat kuliah namun saat pandemi tak banyak perusahaan yang membuka lowongan pekerjaan, apalagi pada masa itu, begitu sulit untuk bepergian jauh ke luar kota. Kala itu, Ia sangat bersyukur bisa mendapatkan pekerjaan yang cukup dekat dengan rumah, berjarak 10 KM dari rumahnya di Bumiayu, Brebes. Namun, sejak pertengahan September, Ia memutuskan resign, banyak sekali kecurangan yang terpaksa Ia lakukan karena perintah atasan. Sudah lama Ia ingin berhenti dari pekerjaan itu, namun selalu Ia urungkan. Akhirnya kali ini, Ia benar-benar angkat tangan. Sudah hampir 2 bulan Ia menganggur. Saat ini sembari terus menerus mengirim lamaran pekerjaan, Ia membuka pre-order makanan seperti Cilok, Seblak, Bakso Aci, namun tentu saja penghasilannya tidak seberapa.

“Rum makan dulu ! Udah pada kumpul di meja makan,” panggil Ibu Arum dari luar pintu kamar.

“Iya Bu, sebentar,” Arum bergegas ke luar kamar.

Seluruh anggota keluarga Arum tampak sudah berkumpul melingkar di depan televisi dengan beralaskan tikar, lengkap dengan hidangan yang sudah tersaji di depan mereka, nasi goreng dengan topping telur dadar yang diiris tipis-tipis dan kerupuk warna oranye. Tampak sang bapak, pria paruh baya bertubuh kurus dengan kulit gelap mengkilat karena sering terpapar matahari, perempuan paruh baya dengan tubuh berisi yang merupakan Ibu Arum, dan ketiga adik Arum, Damar (17 tahun), Farhan (13 tahun) dan Cika (7) tahun.

“Pak, Bu, tadi Bu Sekar di sekolah bilang, Damar bisa daftar ke universitas lewat jalur prestasi, tapi Damar bingung, takut ga lolos KIP kuliah, apa Damar gausah daftar kuliah aja ya Pak, Bu?” Damar membuka obrolan.

Damar tahu, orangtuanya menginginkannya untuk lanjut kuliah, tapi Ia sadar, ekonomi keluarganya sedang sangat sulit. Penghasilan bapaknya sebagai driver ojek online sedang sepi dengan gaji tak menentu, sedangkan Ibunya hanya buka warung kecil-kecilan di rumah.

“Daftar sik wae yo le, masalah biaya nanti kita bapak usahakan,” jawab sang bapak.

“Apa nggak mending Damar cari kerja aja to Pak, biar Damar bisa bantu Bapak sama Ibu, toh kuliah juga engga menjamin kita dapet kerjaan.” Ujar Damar.

Elegie menghentikan makannya, kata-kata adiknya bak tamparan keras untuknya. Pikirannya melalang jauh. Rasanya, Ia ingin lenyap dari ruangan itu saat ini juga.

Bersambung….


8.4.20

GRUP KELUARGA





Pukul 07.00. Mataku terbelalak melihat jam dinding di kamarku menunjukkan angka itu. Aku gelagapan. Habis subuh tadi aku ketiduran ternyata. Aku melangkah gontai, menyambar jilbab dan setengah terburu-buru menuju kamar mandi yang terpisah dari kamarku. Sepi sekali! Kamar mandi yang biasanya ramai dengan antrean teman-teman kostku kini tidak ada. Kudongakkan kepalaku ke arah jemuran, hanya ada dua buah handuk disana, milik Suci dan Dian, teman kostku yang juga masih bertahan di sini, di Solo.

Selepas mandi dan menjemur handuk dan cucian, aku kembali ke kamar. Aku memasak nasi, lalu mencari-cari bahan makanan yang tersisa. Tinggal satu bungkus penyedap rasa yang kuputuskan untuk menjadi lauk sarapanku pagi ini. Tak ada lagi harapan di luar, tak banyak warung-warung yang menjual bahan makanan, sedang warung-warung makan sudah banyak yang tutup, lagi pula aku sudah tak punya cukup banyak uang untuk bertahan. Ruangan berukuran 3x3 meter ini yang menjadi tempat bernaungku sekarang, Retno teman sekamarku sudah lebih dari seminggu pulang kampung.

Sudah tiga minggu ini aku hanya berada di kamar kost, tak pergi kemana-mana. Sesekali aku pergi ke warung Mbok Inah hanya untuk sekedar membeli sebutir telur atau satu papan tempe yang aku goreng sedikit demi sedikit selama beberapa hari. Sejak resmi ada satu pasien positif corona yang meninggal tanggal 12 Maret yang lalu, Solo menerapkan status KLB dan membatasi gerak penduduknya. Aktivitas ekonomi perlahan lumpuh. Begitu pun denganku, aku yang mengandalkan les privat sebagai mata pencaharian pun harus tutup lapak, sekolah-sekolah saja diliburkan, pertemuan antar orang dibatasi, tidak ada yang menerimaku dalam kondisi seperti saat ini.

Aku hanya berdiam di kost, mendengarkan lagu, terlibat beberapa kegiatan galang donasi online, belajar, membaca buku, dan sesekali berbincang dengan Suci dan Dian. Di balik dinding kamarku, sering sekali aku mendengar Suci atau Dian bertelefon ria dengan keluarganya, kudengar kadang mereka tertawa, kadang mengeluh, terkadang begitu manja kepada keluarganya. Jauh di dalam hatiku, aku pun menginginkannya.

Malam harinya, aku, Dian, dan Suci menghabiskan waktu bersama. Kami menonton serial film di Iflix yang belum pernah kami tonton.  Dian nyerocos menceritakan kekesalannya pada grup keluarganya, banyak sekali tulisan-tulisan tanpa sumber yang asal copy-paste dan dipercaya oleh keluarga  besarnya. Cerita Dian disambut hangat oleh Suci yang menceritakan hal serupa. Aku hanya sesekali tersenyum dan terdiam.

“Masak ya kata bude aku buat mencegah virus corona itu masak sayur lodeh tujuh rupa, ga masuk akan banget ga sih?” ujar Dian.

“Samaaa banget, kemarin kan akun cegatan solo posting foto wajah semar di asapnya Merapi itu dibilang kabar baik, pagebluk akan segera usai katanya, jadi kita ga perlu cemas,” tambah Suci.

“Aneh-aneh aja ini grup keluarga, penyebar hoax terbesar, soalnya literasi medianya emak-emak bapak-bapak kita itu kurang banget, menganggap setiap hal adalah benar” ujar Dian.

“Ah, btw, kalian berdua jaga diri baik-baik ya, aku bakalan dijemput orangtuaku besok” ujar Suci tiba-tiba

“Kamu pulang besok?? Cepet banget Ci” sanggahku.

“Yeee cepet apaan, udah lama kali, kata keluarga besarku mending aku pulang aja, secepatnya, sebelum bulan ramadhan datang, sebelum lebaran, kalau makin kesana ntar makin sepi berabe nanti” ujarnya lagi.

“Meskipun kamu bakalan jadi ODP?” tanyaku.

“Iya Tik, bismillah aja semoga aku beneran sehat dan ga jadi carrier virus, gapapa nanti aku lapor ke perangkat desa dan akan mengisolasi diri 14 hari di rumah” kata Suci kemudian.

Keesokan harinya, Suci beneran pulang ke Malang, meninggalkan aku dan Dian di Solo. Tanpa dijemput, pulang ke kampung halaman memang kini menjadi hal yang sulit. Banyak transportasi umum yang sudah tak beroperasi, bandara ditutup, bus dan kereta keduanya tidak ada. Kalaupun ada, sesekali dan mahal, itupun harus melalui pemeriksaan yang cukup ketat oleh petugas di terminal maupun di stasiun.

Tapi entah bagaimanapun itu, aku tidak bisa pulang sekarang. Aku tidak punya uang untuk pulang ke Lampung, terlepas dari itu aku benar-benar takut jika aku terjangkit virus dan menjadi carrier virus untuk nenekku di Lampung. Kadang aku cukup merasa diriku begitu menyedihkannya. Ketika teman-temanku dikhawatirkan oleh keluarganya, orangtuanya, kupikir tak ada yang benar-benar mengkhawatirkanku, kecuali nenekku tentunya.

Salah satu mimpi terbesarku begitu sederhana, aku ingin memiliki grup keluarga, grup yang dikesalkan oleh banyak teman-temanku itu. Aku ingin sesekali dalam hidupku ditelepon orangtuaku, divideo-call, bahkan disms pun aku begitu menginginkannya.

Saat aku berusia tiga bulan, ayahku meninggalkanku untuk bekerja di luar negeri, saat usiaku menginjak usia empat tahun ibuku menyusul ayahku. Sejak saat itu, nenek yang mengasuhku. Aku bertemu mereka lagi saat umurku tujuh tahun, kelas 2 SD kala itu, dan aku sudah punya adik baru yang berusia 1,5 tahun. Setahun setelahnya, mereka pergi ke Sulawesi dan meninggalkanku. Aku baru bertemu mereka lagi Ketika aku kelas 7 SMP, mereka membawa kembali adik baru berusia 1,5 tahun. Setelah itu mereka pergi dan tak pernah kembali. Dulu, aku punya cita-cita sederhana, setiap hari belajar giat agar mendapatkan peringkat pertama di kelas. Harapanku cuma satu, semoga suatu ketika orangtuaku mau datang mengambilkan raporku. Namun, nyatanya aku tidak pernah mendapatkannya. Setiap pengambilan rapor, aku selalu meminta tolong tetanggaku, yang berbeda-beda orang tentunya. Bahkan sampai di kelulusan SMAku dimana aku mendapat juara paralel di sekolah pun, orangtuaku tetap tidak datang.

Hubunganku dengan orangtuaku hanya sebatas mereka mengirim uang untuk biaya kebutuhan hidupku, mereka sama sekali tak pernah menanyakan kabarku. Hingga pada suatu ketika, saat aku masuk kelas dua SMA ayahku menelepon dan meminta aku keluar dari sekolah. Ayahku sudah tak sanggup membiayai sekolahku katanya. Saat itu, kepalaku pening, kebingungan hadir di pikiranku, aku tidak mau putus sekolah. Aku menceritakan masalahku ke guru BK, untungnya aku mendapat keringanan biaya sekolah dan teman-temanku membantuku sehingga aku bisa terus bersekolah. Sayangnya, keputusanku tidak disenangi ayahku, ia menganggapku anak pembangkang yang tidak bisa diatur. Sejak saat itu, tak pernah lagi ada komunikasi di antara kami. Seluruh telepon dariku ditolak, seluruh pesan dariku tak pernah diindahkan, bahkan sebagai anak laki-laki satu-satunya dari nenekku, ayah tak pernah lagi datang. Aku terus menunggunya datang, hingga kemudian aku merantau ke Solo untuk melanjutkan kuliah, aku tak pernah bertemu mereka kembali, ayah, ibu, dan adik-adikku.

Di tengah pandemi yang tak tahu kapan akan berakhir ini, kita dihimbau untuk tetap di rumah, berkumpul dengan keluarga. Meskipun lama-lama terasa membosankan karena tidak berkegiatan di luar, bersyukurlah! karena masih bisa bersama keluarga di rumah. Di luar sana, ada orang-orang sepertiku yang tak bisa merasakan hal yang sama. Bahkan untuk bertemu atau sekedar mengobati rindu lewat grup keluarga pun tidak bisa merasakannya.

Ayah, Ibu, adik-adikku, aku rindu….