“Beri Aku sepuluh orangtua maka akan kucabut
semeru dari akarnya, beri Aku sepuluh pemuda, maka akan kuguncangkan dunia” –
Soekarno
Arky Gilang Wahab menunjukkan larva BSF/Maggot
budidaya Greenposa (Source: Mongabay)
Ungkapan
tersebut terdengar klise di telinga, namun sangat relevan sebagai cambuk
semangat pemuda untuk berkontribusi pada permasalahan-permasalahan di negeri
ini. Istilah “Pemuda yang Mengguncang Dunia” patut disematkan pada Arky Gilang
Wahab – Pemuda lulusan Teknik Geodesi ITB (Institut Teknologi Bandung) yang tergerak
hatinya untuk menjadi bagian dari solusi permasalahan sampah di tanah
kelahirannya, Banyumas.
Di saat banyak sarjana berbondong-bondong mendulang rupiah di ibu kota, Ia memilih untuk pulang, mengabdi pada Banyumas. Melihat masalah darurat sampah yang melanda Banyumas 2018 silam, bukan hanya kritik pedas yang Ia sampaikan pada pemerintah, Arky mengambil langkah konkret dengan menginisiasi terbentuknya Greenprosa dan merangkul erat pemerintah setempat. Hasilnya tak tanggung-tanggung, bukan hanya menuntaskan masalah sampah, tetapi juga menggerakkan ekonomi masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya bahkan menjadi percontohan pengelolaan sampah bagi daerah-daerah lainnya. Atas kontribusinya, Ia didapuk sebagai Penerima Apresiasi Semangat Astra Untuk (SATU) Indonesia Awards dari tahun 2021.
Sampah dan
Manusia
Kebakaran TPA Rawa Kucing (Foto: Kompas.com)
Sering
kita mendengar istilah Homo Homini Socius: Manusia adalah teman bagi
manusia lainnya, dan istilah Homo Homini Lupus: Manusia adalah serigala
bagi manusia lainnya. Terminologi tersebut sepertinya cocok kita gunakan untuk
menggambarkan hubungan manusia dengan sampah. Sepanjang hidupnya manusia tidak
dapat dipisahkan dari sampah, dimana manusia tinggal disitu akan terdapat
sampah dan begitu pula sebaliknya, dimana ada sampah disitu pasti ada aktivitas
manusia. Pertanyaannya, sampah ini akan merugikan atau justru memberi manfaat
untuk manusia?
Sebagian
besar orang akan menjawab, sampah sebagaimana definisinya: Sampah merupakan barang-barang yang sudah
tidak diinginkan dan tidak digunakan lagi atau barang-barang sisa dari sebuah
aktivitas manusia (World Bank, 2018). Padahal,
jumlah populasi manusia bertambah setiap tahunnya, bukankah hal tersebut akan
berbanding lurus dengan jumlah populasi sampahnya?
Source: Youtube SDG Academy Indonesia
Menurut
UNEP (2017), Indonesia merupakan penghasil sampah perkotaan nomor 2 terbesar di
Asean yakni mencapai 64 juta ton dengan komposisi sampah makanan dan sampah
organik mencapai 60 % dengan estimasi 400 kg sampah/tahun/orang. Sampah makanan
dan sampah organik dari sampah rumah tangga maupun sampah industri berakhir di
Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Selain
menimbulkan bau tidak sedap, sampah organik yang tidak terkelola lambat laun
bisa memunculkan gangguan terhadap kualitas air, udara, lingkungan, dan
kesehatan. Sampah yang menumpuk di TPA bisa menimbulkan gas etana berbahaya,
bahkan memicu kebakaran. Tercatat pada sepanjang tahun 2023 terdapat 14 TPA di
Indonesia yang mengalami kebakaran (kompas.com). Padahal, sampah yang terbakar
bisa berdampak sangat serius untuk kesehatan. Kebakaran TPA tentunya merupakan
hal yang bisa saja terjadi di TPA-TPA
lainnya apabila tidak diantisipasi sesegera mungkin, apalagi hampir seluruh TPA
di Indonesia masih dalam bentuk Open Dump.
TPA Kaliori Ditutup
Warga
Demo warga
menuntut perbaikan pengelolaan sampah TPA Kaliori (Foto : Tribun Jateng)
Permasalahan pengelolaan sampah salah satunya
terjadi di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kaliori, Kecamatan Kalibagor,
Kabupaten Banyumas. Penampungan
sampah membludak karena tak terkelola sebagaimana mestinya, setiap harinya 400
kubik sampah ditumpahkan di TPA Kaliori, tak pelak penampungan sampah kelebihan
muatan bahkan menimbun Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL). Akibatnya, air
yang semestinya tersaring menjadi keruh dan berbau, merembes mencemari sumur dan
lahan pertanian warga. Pada April 2018 lalu, ratusan warga Kaliori
berbondong-bondong mendatangi TPA Kaliori, melayangkan aksi protes dan
berbuntut melakukan penutupan segala aktivitas di TPA Kaliori.
Dari hasil riset yang dipaparkan oleh Direktur LKB Fisip Unsoed Nilawati bersama Direktur Eksekutif Navigator Research Strategic, Novita Sari menjelaskan dari penelitian TPA Kaliori ternyata jarak antara TPA dengan pemukiman penduduk hanya 100 meter. Instalasi pengolahan air limbah (IPAL) juga tidak berfungsi. Penyebabnya, pengelolaan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kaliori masih menggunakan metode open dumping, dalam pelaksanaannya setiap truk sampah yang masuk ke TPA Kaliori, begitu datang hanya memindahkan sampah dari truk ke dalam lokasi TPA Kaliori, tanpa adanya pengolahan lebih lanjut. Aktivitas di lokasi TPA Kaliori hanya ada penggunaan alat berat bulldozer, untuk meratakan sampah yang telah dipindahkan dari truk agar tidak menggunung.
Greenprosa dan Masa Depan Indonesia
Arky Gilang Wahab Bersama Greenprosa (foto:
Instagram @arkygilang)
Ditutupnya
TPA Kaliori tentunya menimbulkan masalah baru, TPA tak beroperasi, sampah
berserakan dimana-mana termasuk di pusat kota, di pinggir jalan dan sepanjang wilayah
Banyumas. Selain tak sedap dipandang
mata, bau tak sedap juga menguar dari sampah dan mengganggu aktivitas warga. Melihat
permasalahan sampah tersebut, Arky tak menutup mata, Ia memutar otak, bagaimana
caranya agar permasalahan sampah tersebut bisa teratasi. Ditanya dalam live Inspiranation di Youtube SATU Indonesia, Arky mengatakan bahwa alasan terbesarnya
bergerak awalnya karena risih dengan pemandangan sampah dimana-mana dan ‘menuntut
pemerintah’ saja belum tentu jadi solusi.
“Ketika kita sebagai anak muda dan teriak-teriak
ke pemerintah minta diberesin apa segala macam, apa itu akan mengubah? Saya
pikir nggak segitunya. Kalau kita mau berteriak, ya,
kita lakuin dulu, dong", ucap Arky.
Awalnya,
Arky memilih mengolah sampah menjadi pupuk kompos dengan cara sampah organik
diolah menggunakan metode composting. Namun cara ini ternyata tidak berjalan
karena kendala tempat dan waktu. Jumlah sampah yang besar membutuhkan lahan
yang luas juga untuk proses pengomposan dan membutuhkan waktu 1 hingga 3 bulan
untuk menjadi kompos dengan catatan proses pengomposan dilakukan dengan benar.
Arky
pun beralih ke budidaya maggot. Maggot adalah larva lalat yang dihasilkan
siklus hidup lalat tentara hitam (Black Soldier Fly/BSF). Maggot ini bermanfaat
untuk mengkonversi sampah organik dan mampu memakan sampah organik sebanyak 3-5
kali berat tubuhnya. Jadi setiap 1 kg Maggot bisa memakan sampah organik 3-5 kg
dalam waktu kurang dari 1 hari.
Bapak dua anak ini pun mendirikan sebuah perusahaan yang bernama Greenprosa. Greenprosa adalah socio enterprise yang berfokus pada pemberdayaan masyarakat. Greenprosa memiliki jargon “Hijaukan Bumi, Birukan Langit” yang berkontribusi dengan menciptakan industri hijau berkelanjutan dengan teknologi Maggot BSF. Adapun pesan yang dibaawa adalah bagaimana Greenprosa tersebut bisa memberdayakan masyarakat, ramah lingkungan dan bisa mewujudkan ekonomi sirkular.
Gandeng Pemerintah, Atasi Sampah Dari Hulu ke Hilir
Proses pemilahan sampah organik dan anorganik (Foto: Youtube Greenprosa)
Darurat
sampah yang terjadi 2018 lalu menjadi titik balik pengelolaan sampah di
Banyumas dan kini menjadi daerah dengan pengelolaan sampah terbaik di Indonesia. Dalam praktik pengelolaan sampah, Pemerintah Kabupaten Banyumas bergandengan tangan berkolaborasi dengan Kelompok
Swadaya Masyarakat (KSM), pihak swasta, dan juga BUMD. Selain itu, dibangun 7
Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) yang dilengkapi dengan mesin pemilah
sampah otomatis, dan armada pengangkut sampah.
Adapun
komposisi sampah di Banyumas, sebesar 50% merupakan sampah organik atau sekitar
200 ton per hari. Melihat keberhasilan
pegelolaan sampah organik yang dilakukan oleh Greenprosa, pemerintah daerah
menggandeng Greenposa dalam pengelolaan berbagai TPST di Banyumas bersama KSM. Bak
simbiosis mutualisme, KSM terbantu dalam pengelolaan sampah organiknya sedangkan
Greenprosa mendapatkan pakan murah untuk Maggot dan juga disediakan lahan di
TPST.
Sampah Jadi Penggerak
Ekonomi Sirkular
Aktivitas memilah sampah secara manual (Foto: Instagram @greenprosa)
Greenprosa
lahir tidak lain dan tidak bukan adalah untuk membantu masyarakat, setelah
berjalan membantu menuntaskan permasalahan sampah organik melalui budidaya maggot,
Arky melihat sebuah peluang usaha baru. Maggot memiliki nilai ekonomi. Maggot
BSF yang dibudidayakan Arky kaya akan protein dan nutrisi sehingga bisa
dijadikan makanan ternak.
Tak
hanya itu, pupuk yang dihasilkan dari pengolahan sampah organik menggunakan
maggot ini juga membuat tanah lebih subur. Arky telah membantu pertanian dan
peternakan di sekitarnya. Tak heran, dia pun diangkat sebagai Ketua Duta Petani
Milenial Banyumas. Bersama Greenprosa, Arky ingin memberdayakan masyarakat
sekitarnya, khususnya yang bergerak di bidang pertanian, peternakan, dan
pengelola sampah.
Produk Greenprosa
adalah larva BSF dengan merek "mrmaggotbsf" yang merupakan teknologi biokonversi
sampah organik yang paling efektif dan ramah lingkungan. Greenposa ini
menggerakkan ekonomi sirkular. Yakni, ekonomi yang melibatkan banyak pihak
sehingga semua merasakan dampak ekonomi secara langsung dan berkelanjutan.
Sejak tahun 2018, Greenprosa terus bergerak. Melestarikan lingkungan dan menggerakkan ekonomi sirkular. Pencapaiannya saat ini, sudah mengelola 6.704 ton sampah, bermitra dengan 8.312 rumah dan 102 industri, kantor, dan horeka. Bahkan, tahun 2022 ini, Arky dipercaya mengelola sampah organik tempat wisata. Greenprosa dipercaya mengelola sampah organik dari TSI (Taman Safari Indonesia).
Semakin
banyak sampah organik yang dikelola, semakin membantu mengatasi penumpukan
sampah di TPA. Pun, semakin banyak pundi-pundi yang diperoleh. Bahkan, Arky
mampu meraup omset 500 juta rupiah setiap bulannya dari hasil budidaya maggot
ini. Membayangkan langkah Arky ini diduplikasi di banyak daerah di Indonesia tentunya menjadi harapan baru, menjadi oase segar bagi peliknya permasalahan sampah di Indonesia.