;

28.3.18

Quarter Life Crisis, Benarkah Harus Terjadi Lebih Cepat, yakni Pasca 20 tahun?


Hari ini, timeline sosial mediaku sedikit berisikan sebuah pesan siaran, salah seorang temanku, Ayyasy Yahya membagikan informasi tentang karyanya, sebuah buku berjudul "Life Begins at 20", jujur saya belum membaca buku tersebut karena masih dalam tahap pre-order. Berdasar review sekilas, buku itu akan bercerita tentang pemuda, pemimpin, dan bisnis. Tapi yang pasti, aku suka judul bukunya! Seruku.

Begins at 20?


Menarik ! sekaligus menimbulkan tanya, saat ini pun aku berusia 20 tahun, Benarkah aku baru akan memulai kehidupan di usiaku yang sekarang?



Pagi ini, 28/3/2018, dalam mentoring pagi Happines Family, Mas Siswandi menyebut-nyebut nama beberapa orang, (Triana Baity, Maflahah, Satryo, dan Hasna), kakak-kakakku yang baru saja, dan sedang menggarap skripsi sebagai prasyarat kelulusan dan menyambung-nyambungkannya dengan kata "Quarter Life Crisis", kata yang tak asing tapi baru aku benar-benar pahami seharian ini.

Dilematis.

Kita akan dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan, pilihan-pilihan, dan keputusan yang harus segera dilakukan. Tak bisa dipungkiri, akan muncul pertanyaan, pasca lulus akan bekerja atau melanjutkan pendidikan, akan menjadi apa dan seperti apa kita di masa yang akan datang. Perlukah kita kuliah S2? Haruskah kita menekuni apa yang menjadi passion kita? HaruskaH meninggalkan keilmuan kita yang telah kita pelajari bertahun-tahun? Benarkah pilihan untuk berbisnis? Kapan sebaiknya kita menikah dan berkeluarga?  serta pertanyaan-pertanyaan lainnya.


Makin asik, kataku, ujaran Mas Sis dibabat habis oleh Mbak Tria yang tak pernah mengaminkan kata Quarter Life Crisis, "Semua orang tak akan menemui krisis saat ia tahu tujuan dari hidupnya." "Kalau mau orientasi bekerja ya sudah tahu, bekerja dimana, dan bagaimana cara mencapainya, bukan lagi galau maju mundur, masih memikirkan bekerja atau kuliah lanjutan saat pilihan sudah ada di depan matanya"


Terpikirkan olehku, pilihan memang akan ada, banyak sekali, tapi bukankah yang memilih itu jumlahnya pun banyak? tak hanya kita seorang yang ada di dunia ini?


Berbicara Quarter Life Crisis, benar seperti yang diikrarkan Ayyasy, dimulai sejak usia 20. Tujuan harus segera diproklamirkan, dipetakan bagaimana mencapainya. Menyegerakan untuk menyelesaikan urusan-urusan tentang diri sendiri. Salah satunya dengan memilih, bukan menyediakan waktu yang panjang untuk berpikir dalam menentukan pilihan.


Egy Adhitama, seniorku di kampus telah membuktikan, sedikit tak dapat dipercaya, saat menduduki semester 3 (umur 19 tahun) ketika orang seusianya masih digalaukan dengan pertanyaan, "Apakah program studi yang dipilihnya tepat dan sesuai", ia telah menentukan pilihan untuk melanjutkan studi master karena baginya background ilmu pendidikan ramai di pasar dan ia tak mau menjadi yang biasa-biasa saja. Ia memberanikan diri berpartner dengan dosen dalam penelitian, mempersiapkan berkas mendaftarkan kuliah ke luar negeri, ia menghubungi profesor-profesor dari luar negeri berulang kali, hingga terkumpullah beberapa karya penelitian yang telah terpublikasikan, dan bahkan saat ini, sebelum lulus kuliah sarjana, ia telah diterima di dua universitas sekaligus, di luar negeri pula. Luar biasa bukan?


"Ada satu tantangan yang benar-benar harus ditakhlukkan, kalau pasca lulus ingin bekerja, pastikan kamu sudah dapat kerjaan sebelum diwisuda, kalau ingin lanjut S2, pastikan kamu sudah diterima di kampusnya sebelum mendapat gelar sarjana," ditambahkan oleh Mas Sis yang membuatku mengangguk-angguk dalam hati.


Quarter Life Crisis seharusnya memang harus ada, bahkan dijemput, dengan syarat sesegera mungkin, dan dipikirkan jauh-jauh hari sebelum kita menjumpai pilihan yang sebenarnya. Tujuannya agar kita tahu plan a, plan b, plan c, agar kita mampu mengatasi permasalahan, menentukan solusi terbaik, dan apa yang kita cita-citakan berjalan sesuai harapan.



Selamat menentukan pilihan!

0 comments:

Post a Comment